Posted by : ngatmow 2.09.2011

Ada seorang temen kantor yang tiba-tiba berteriak memanggil aku sore ini. dia menunjuk sebuah tulisan di Kompas.com yang berjudul "Alanda dan kasus Bank Century"

Awalnya sih aku ga begitu tertarik untuk membacanya, tapi kemudian aku jadi tertegun setelah membaca penggalan tulisan seperti yang ditunjuk temenku itu....

Ibu dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.

“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan, tanda tangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens


Sumpah aku tertegun, Seorang Alanda Kariza yang merupakan salah satu talenta muda Indonesia ternyata memiliki sangkut paut dengan permasalahan bank Century dan bahkan dalam hal ini menjadi korban rekayasa genetika kasus superpelik di negeri (yang sudah tidak bisa lagi dibanggakan) ini


berikut cuplikan tulisan Alanda Kariza dalam blognya...(mohon maaf REPOST dari aslinya demi menyebarkan kebenaran)

Jika ditanya apa cita-cita saya, saya hampir selalu menjawab bahwa saya ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding mendengar Ibu menceritakan aktivitas saya kepada orang lain dengan wajah berbinar-binar. Semua mimpi yang saya bangun satu per satu, dan semoga semua bisa saya raih, saya persembahkan untuk beliau.

Belakangan ini, kita dibombardir berita buruk yang tidak habis-habisnya, dan hampir semuanya merupakan isu hukum. Saya… tidak henti-hentinya memikirkan Ibu. Terbangun di tengah malam dan menangis, kehilangan semangat untuk melakukan kegiatan rutin (termasuk, surprisingly, makan), ketidakinginan untuk menyimak berita… Entah apa lagi.

Selasa, 25 Januari 2011, periode ujian akhir semester dimulai. Hari itu juga, Ibu harus menghadiri sidang pembacaan tuntutan. Hampir tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Ibu saya, yang sejak bulan September 2005 bekerja di Bank Century.

Hanya keluarga dan kerabat dekat kami yang mengetahui bahwa Ibu menjadi tersangka di beberapa kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di Bank Century. Sidang pembacaan tuntutan kemarin merupakan salah satu dari beberapa sidang terakhir di kasus pertamanya.

Sejak Bank Century di-bailout dan diambil alih oleh LPS, kira-kira bulan November 2008 (saya ingat karena baru mendapat pengumuman bahwa terpilih sebagai Global Changemaker dari Indonesia), Ibu sering sekali pulang malam, karena ada terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Saya jarang bertemu beliau. Bahkan, ketika saya berulang tahun ke-18, saya tidak bertemu dengan Ibu sama sekali karena beliau masih harus mengurus pekerjaan di kantor. Itu pertama kalinya saya berulang tahun tanpa Ibu. Seiring dengan diusutnya kasus Century, Ibu harus bolak-balik ke Bareskrim untuk diinterogasi oleh penyidik sebagai saksi untuk kasus-kasus yang melibatkan atasan-atasannya.

Sejak saya kecil, Ibu saya harus bekerja membanting tulang agar kami bisa mendapat hidup yang layak–agar saya mendapat pendidikan yang layak. Ketika saya duduk di SMP, beliau sempat di-PHK karena kantornya ditutup. Kami mengalami kesulitan keuangan pada saat itu, sampai akhirnya saya menerbitkan buku saya agar saya punya “uang saku” sendiri dan tidak merepotkan beliau, maupun Papa.

Ibu sempat menjadi broker properti, berjualan air mineral galonan, sampai berjualan mukena. Adik pertama saya, Aisya, ketika itu masih kecil. Ibu pun mengandung dan melahirkan adik kedua saya, Fara. Akhirnya, ketika buku saya terbit, beliau mendapat pekerjaan di Bank Century. Papa sudah duluan bekerja di sana, tetapi hanya sebagai staf operasional.

Saya lupa kapan… tetapi pada suatu hari, saya mendengar status Ibu di Bareskrim berubah menjadi TSK. Tersangka.



Itu merupakan hal yang tidak pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya. Tersangka? Dalam kasus apa? Dituduh menyelewengkan uang?

Sejak Ibu bekerja di Century, hidup kami tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu sebagai Kepala Divisi boleh dibilang tinggi, tetapi tidak membuat kami bisa hidup dengan berfoya-foya. Orang-orang di kantor Ibu bisa punya mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal… Tidak dengan Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itu pun tidak mewah. Saya sekolah di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi swasta untuk meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada asuransi pendidikan.

Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri untuk program beasiswa di luar negeri–beliau khawatir tidak bisa menanggung biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus Century mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang menjadi “tulang punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya hanya “membantu”.

Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas III SMA tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu, dan Ibu.

Sejak itu, hidup kami benar-benar berubah… walau dari luar, Ibu dan Papa berusaha terlihat biasa-biasa saja. Mereka tidak cerita banyak kepada saya. Mobil dijual dan mereka membeli yang jauh lebih murah. Kami jarang pergi jalan-jalan dan saya jarang mendapat uang jajan. Kami lebih jarang menyantap pizza hasil delivery order. Sopir diberhentikan dan hanya punya satu pembantu di rumah.

Ibu dipindahkan ke kantor cabang, sementara Papa mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Saya beruntung, mereka berdua tidak pernah menahan saya dari melakukan hal-hal yang saya mau lakukan, terutama aktivitas Global Changemakers dan IYC. Tapi, saya sadar, bahwa hidup kami benar-benar berubah.

I can live with that. I’m willing to work part time, do internships, and work my ass off to publish more and more books if it would help my parents, especially my mother. Although I don’t have my own car and I can’t shop luxurious stuff just like my friends do, I’m happy, and I’m willing to live like that. Saya mau, meski hal tersebut pasti melelahkan.

Saya memilih beasiswa dari Binus International dibanding Universitas Indonesia, salah satunya juga supaya orangtua saya tidak perlu lagi membiayai pendidikan saya. Supaya uang untuk saya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan adik-adik saya. Saya ingin mereka bisa les bahasa Inggris bertahun-tahun seperti saya dulu… siapa tahu mereka bisa memenangi kompetisi-kompetisi internasional yang bergengsi.

Awalnya pun berat bagi Ibu, tetapi lambat laun, Ibu sangat ikhlas. Ibu jarang membagi kesulitannya kepada saya–selalu disimpan sendiri atau dibagi ke Papa. Beliau hanya mengingatkan saya untuk tidak lupa shalat dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik agar beasiswa tidak dicabut. Dari apa yang dialami Ibu, saya belajar untuk tidak dengan mudah memercayai orang lain. Ibu orang baik dan hampir tidak pernah berprasangka buruk. Tapi, sepertinya kebaikannya justru dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain.

Ibu dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.

“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan, tanda tangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.

Oleh karena itulah, saya optimistis. Saya tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik saja karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya) melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara hukum.

Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari 2011, sehari sebelum saya ujian Introduction to Financial Accounting, saya harus menerima sesuatu yang, sedikit-banyak, menghancurkan mimpi yang telah saya bangun bertahun-tahun, dalam sekejap.

Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan dengan baik. Saya pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan menonton televisi. Ibu pulang malam. Status BBM salah seorang tante berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi. Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendengar pembacaan tuntutan.

Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 miliar rupiah.

Sesak napas. Yang terasa cuma air mata yang tidak berhenti.

Mungkin, ini cuma mimpi buruk… Mungkin, ketika terbangun, ternyata kasus ini sudah berakhir, dan saya bisa menjalani hidup yang “biasa” lagi dengan Ibu, Papa, dan dua adik-adik yang masih kecil. Walau hidup kami tidak mewah, tetapi bahagia. Tidak harus ada sidang, tidak harus ada penyidikan di Bareskrim, tidak harus ada pulang larut karena harus ke kantor pengacara, tidak harus melewatkan makan malam yang biasanya dinikmati bersama-sama.

Saya kangen Ibu masak di rumah: pudding roti, spaghetti, roast chicken, sop buntut, apa pun. Saya kangen pergi ke luar kota, walau cuma ke Bogor, bersama keluarga. Hal-hal kecil yang sudah tidak bisa kami nikmati lagi. Kalau ini hanya mimpi buruk, saya mau cepat-cepat bangun.

Mungkin saya tidak sepintar banyak orang di luar sana, terutama para ahli hukum: mulai dari hakim, jaksa, sampai pengacara ataupun notaris. Saya tiga kali mencoba untuk diterima di FHUI, dan tiga kali gagal. Tapi, saya bisa menilai bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak masuk di akal.

Gayus–kita semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya–divonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apa pun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?

Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum Internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010.

Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapa pun mengambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya.

“Apa yang Alanda ingin lakukan sepuluh tahun lagi?”

Sebelumnya saya tahu, saya punya begitu banyak mimpi yang ingin dicapai, untuk membuat Ibu bangga, dan–mungkin–untuk Indonesia. Ingin mendirikan sekolah supaya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, ingin menyelenggarakan IYC terus-menerus agar ada banyak agen perubahan di Indonesia, ingin ini dan ingin itu.

Keinginan-keinginan itu mati tanpa diminta. Sekarang hanya ingin Ibu bebas dari seluruh kasus tersebut. Sekarang hanya ingin hidup bahagia bersama Ibu, Papa, dan adik-adik–di rumah kami yang tidak besar, tetapi cukup nyaman; jalan-jalan dengan mobil yang tidak mahal, tetapi bisa membawa kami pergi ke tempat-tempat menyenangkan.

Saya mau ada Ibu di ulang tahun saya yang kedua puluh, dua minggu lagi. Saya mau ada Ibu di peluncuran buku saya–seperti biasanya. Saya mau ada Ibu waktu nanti saya lulus dan diwisuda. Saya mau ada Ibu ketika saya suatu hari nanti menikah. Saya mau ada Ibu ketika saya hamil dan melahirkan anak-anak saya.

Uang, politik, hukum yang ada di negara ini menghancurkan bayangan saya tentang hal itu. Mungkin selamanya pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet, menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisis yang komprehensif (maupun putusan yang masuk di akal), bukan 6,7T yang entah ada di mana saat ini.

Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat pemuda-pemuda optimis berhenti berkarya untuk Indonesia. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat individu-individu brilian memilih untuk tinggal dan berkarya bagi negara lain… agar keluarga mereka tetap utuh. Supaya mereka tidak harus menghadapi ketidakadilan yang menjijikkan seperti ini.

Saya mau Ibu ada di rumah, Indonesia. Tidak di penjara, tidak di tempat lain, tetapi di rumah, bersama saya, Papa, Aisya, dan Fara.

Hari Kamis, Ibu akan membacakan pleidoi (pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan menceritakan seluruh kejadian yang beliau alami dan mengapa seharusnya beliau tidak mengalami tuduhan apalagi tuntutan ini.

Saya mohon doanya buat Ibu, walau mungkin Anda tidak pernah mengenalnya. Ia berjasa besar bagi saya, dan saya yakin, bagi banyak orang di luar sana. Beliau membutuhkan doa, dukungan, dan bantuan dari banyak orang.

Even if I have to let Indonesian Youth Conference go, even if I have to work hard 24/7 to live without having to ask for allowances from my mother… I’m willing to do so.

I just want her to stay with me… instead of behind those scary bars. I just want her to witness everything that I will achieve in the future. I just want her to see my little sisters grow up, beautifully. I just want her to always be there around the dining table, and we’ll have dinner together. I just want her to cook again for the whole family on Sunday mornings. I just want her to let me drive for her when she has to go somewhere. I just want her to listen to my stories about my boyfriend, my friend, campus life, or silly little things. I just want her here… Here.

I love you, Mum. I do… :’(

Lalu siapa sih ibunya Alanda ??

Beliau adalah Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century (2005-2009).
dalam sebuah artikel, Kompas.com menceritakan runtutan kejadian sampai bu Arga ini tersandung kasus "rekayasa" ini.
Berikut artikelnya :

Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century (2005-2009), tersangkut kasus yang menjerat politisi Partai Keadilan Sejahtera Misbakhun. Misbakhun dipidana 1 tahun penjara karena terbukti memalsukan surat gadai untuk mendapatkan kredit dari Bank Century sebesar 22,5 juta dollar AS.

Nah, Arga didakwa terlibat dalam proses pemalsuan itu. Pejabat Bank Century lain yang tersangkut dalam kasus ini adalah Robert Tantular, Direktur Bank Century Hermanus Hasan Muslim, dan Kepala Cabang Bank Century Senayan Linda Wangsadinata. Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 368 miliar.

Ceritanya, pada 29 Oktober 2007 Komisaris PT Selalang Prima Internasional (SPI) Misbakhun, dan Direktur PT SPI Franky Ongkowardojo, mengajukan permohonan fasilitas Letter of Credit kepada Bank Century sebesar 22,5 juta dollar AS untuk membeli condensate dari Grains and Industrial Produts Pte Ltd. Condensate adalah produk minyak bumi yang biasa digunakan untuk bahan baku plastik.

Untuk kepentingan kredit itu, keduanya lantas menjaminkan deposito yang nilainya hanya sebesar 4,5 juta dollar AS atau hanya 20 persen dari total pinjaman. Menurut ketentuan, jaminan itu tidak memenuhi persyaratan pinjaman. Nilai jaminan seharusnya minimal 100 persen dari nilai kredit.

Linda Wangsadinata, saat memberikan kesaksian dalam persidangan Misbakhun menyebutkan, ia mendapat informasi soal kredit yang diajukan Misbakhun langsung dari Robert Tantular. Setelah menganalisa data-data yang diserahkan PT SPI Linda menyampaikan kepada Robert bahwa kredit tersebut berisiko untuk dikucurkan. Namun, Robert menyatakan kredit PT SPI aman untuk diproses.

Kemudian, Linda bersama Novita Evalinda, Account Officer, menghadap Direktur Utama Bank Century Hermanus Muslim yang juga merangkap sebagai Direktur Kredit untuk membicarakan masalah ini.

Dalam kesaksianya, Linda mengatakan ia dan Novi mendapat instruksi dari Hermanus untuk membuat Formulir Persetujuan Kredit (FPK). Syarat-syarat kelengkapan administratif dilengkapi kemudian.

Dokumen palsu

Dalam dakwaan JPU pada kasus Misbhakun terungkap, FPK dibuat pada 29 Oktober 2007 tanpa dilengkapi dokumen administrasi, bahkan tanpa survei terlebih dahulu terhadap kemampuan keuangan PT SPI dan memorandum analisis kredit.

Akta perjanjian pemberian fasilitas L/C ditandatangani pada 22 November 2007. Pada tanggal itu, disebut, Misbakhun dan Franky menyerahkan deposito sebesar 4,5 juta dollar AS sebagai jaminan kepada Linda dan Arga. Padahal, belakangan diketahui, ternyata deposito baru dibuka pada 27 November 2007. Artinya, Bank Century telah mengucurkan kredit kepada PT SPI sebelum adanya jaminan deposito.

Cerita selanjutnya, kredit Misbakhun macet. Ternyata, ada banyak kasus kredit macet di Bank Century. Akibatnya, lembaga keuangan itu masuk dalam kategori “bank sakit”. Pemerintah pun menggelontorkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Dana talangan ini lantas menuai kisruh politik yang tak juga reda hingga saat ini.

Kasus Arga adalah salah satu dari puluhan berkas kasus yang dibawa ke persidangan dalam Kasus Bank Century. Dalam dakwaan primer, JPU mendakwa Arga melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal 49 ayat 1 huruf a berbunyi, “...membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.” Ancaman pidana maksimal dalam dakwaan primer adalah 15 tahun penjara dengan denda Rp 200 miliar.

Sementara, dakwaan subsider adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal 49 ayat 2 huruf b berbunyi, “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.” Ancama pidana maksimal dalam dakwaan subsider adalah 8 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar.

SUMPAH AKU JADI SEMAKIN NGGAK HABIS PIKIR PADA NEGERI INI. APA YANG SEBENARNYA SEDANG TERJADI DAN KENAPA BANGSA INI SEMAKIN MENJIJIKKAN UNTUK DIBANGGAKAN ???

Comments
3 Comments

{ 3 komentar... read them below or Comment }

  1. jangan pesimis deperti itu dulu gan, semua masih bisa diperbaiki kok.asalkan pemerintah mau benar2 melaksanakan dan mendahulukan kepentingan masyarakatnya serta orang2 yang ada di "atas" tidak hanya mementingkan kantong sendiri aja....

    BalasHapus
  2. cara ngatasinnya gampang gan : OTAK PARA PEJABAT TERUTAMA ANGGOTA DEWAN YANG (TIDAK) TERHORMAT KITA DI INSTAL ULANG SEMUA DULU BARU DIANGKAT LAGI JADI PEJABAT.....DAN ITU BERLAKU SEBAGAI SYARAT MENGAJUKAN DIRI JADI PEJABAT.:a:
    KEDUA, tunjangan jabatan seorang pejabat JANGAN LEBIH BESAR daripada tunjangan kroco macem ane gan.....hahahaha :D

    BalasHapus
  3. saatnya kita bersiap siap menerima kenyataan bahwa bangsa ini akan hancur gan.....
    :-L

    BalasHapus

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow