Dawet Ayu Banjarnegara, minuman khas yang jadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia
Kakang kakang pada plesir (maring endi yayi)
Tuku dawet, dawete banjarnegara
Seger adem legi (apa iya)
Dawet ayu, dawete banjarnegara
Begitu sepenggal bait dari lagu berjudul “Dawet Ayu Banjarnegara” yang konon diciptakan seniman Banjarnegara bernama Bono (dan disebut-sebut sebagai asal sejarah nama dawet ayu) untuk kemudian dipopulerkan kembali oleh Grup Seni Calung dan Lawak Banyumas Peang Penjol yang terkenal di Karesidenan Banyumas pada era 1970-1980-an.
Wajar kalau nama Dawet Ayu kemudian di identikkan dengan Banjarnegara karena dalam lirik lagu ini memang disebutkan beberapa kali kata 'Dawet Banjarnegara'. Dalam liriknya lagu ini berkisah tentang percakapan sederhana antara adik dan kakak soal rencana pergi bepergian piknik kemana saja yang penting jangan lupa membeli dawet banjarnegara yang segar, dingin dan manis. Begitu ......
Dalam masyarakat Banjarnegara sendiri, asal muasal penamaan Dawet Ayu memang ada beberapa versi. Selain versi tersebut, ada pula versi Ahmad Tohari (dan setelah melalui penelusuran yang intensif ternyata versi Tohari ini mirip dengan keterangan tokoh masyarakat Banyumas, Kiai Haji Khatibul Umam Wiranu) yang mengatakan bahwa berdasarkan cerita tutur turun temurun, ada sebuah keluarga yang berjualan dawet sejak awal abad ke-20. Generasi ketiga penjual es dawet ini terkenal dengan parasnya yang cantik. Dari sini mulailah orang menyebutnya sebagai es dawete wong ayu yang artinya es dawet racikan wanita cantik.
Ada juga cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Banjarnegara bahwa popularitas dawet Banjarnegara ini adalah berkat jasa dan dorongan mantan Presiden Soeharto saat meresmikan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mrica pada 1989. Disebutkan saat itu Presiden Soeharto disuguhi minuman khas Banjarnegara yakni dawet oleh ibu ibu cantik, dan kemudian Pak Harto bilang minuman ini seterusnya disebut saja dawet ayu agar semakin terkenal ke seluruh Indonesia.
Pak Harto juga menganjurkan supaya hiasan ukiran sosok Semar dan Gareng terpampang di angkringan dawet ayu. Semar Gareng atau disingkat mareng dalam bahasa Jawa artinya, musim kemarau.
“Jadi simbolnya nanti berupa Mareng, Semar dan Gareng yang menjadi penanda ajakan untuk menghilangkan rasa dahaga (kering, mareng atau kemarau) dengan meminum dawet ayu" begitu dikisahkan.
Btw, lupakan soal nama...... ingatlah soal rasa ...... halah ......
Dawet Ayu sendiri sebenarnya merupakan minuman yang unik. Keunikan es dawet ayu Banjarnegara terletak pada cita rasanya yang khas. Santan kelapa yang digunakan beraroma gurih dan tidak amis. Gula arennya juga berkualitas tinggi, memberikan rasa manis yang legit tanpa rasa pahit. Selain itu, dawetnya terbuat dari tepung beras yang diolah secara tradisional, sehingga menghasilkan tekstur yang kenyal dan lembut.
Selain cita rasanya, es dawet ayu Banjarnegara juga memiliki penampilan yang cantik. Warna hijau dari dawet dan putih dari santan berpadu harmonis, menciptakan tampilan yang menggoda. Ditambah es serut yang dingin dan serutan gula aren, es dawet ayu Banjarnegara menjadi sajian yang memanjakan mata dan lidah.
Menggoda ?
Pasti dong.......
Pengakuan terhadap Dawet Ayu Banjarnegara juga nggak main main lho. Dawet Ayu Banjarnegara ditetapkan sebagai ‘Minuman Tradisional Terpopuler’ dan meraih Juara 1 pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 sekaligus sebagai minuman terfavorit pilihan masyarakat Indonesia pada ajang yang sama pada tahun 2021.
Pada tahun ini Dawet Ayu Banjarnegara telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda Indonesia tahun 2024. Sertifikat penetapan tersebut diserahterimakan oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara dalam kegiatan Apresiasi Warisan Budaya Indonesia (AWBI) Tahun 2024 pada hari Sabtu (16/11).
Keren kan ?
Pengakuan terhadap Dawet Ayu Banjarnegara diharapkan kemudian menjadi kebanggaan dan sebuah komitmen bagi masyarakat Banjarnegara untuk terus berupaya melestarikan minuman khasnya tersebut. Selain itu juga dapat mendorong masyarakat untuk lebih mencintai, menjaga, dan mengembangkan budaya lokal di tengah tantangan modernisasi untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
So, kita sebagai generasi terkini siap untuk mengemban tugas itu ?
Harus lah ....
karena kalau bukan kita, siapa lagi ??
Dieng Culture Festival XIV 2024, Back to The Journey
Dieng Culture Festival kembali digelar dengan mengusung tema Back to The Journey, acara budaya tahunan yang ditunggu tunggu (karena tahun 2023 ga ada) ini akhirnya dilaksanakan di Kawasan Wisata Dataran Tinggi (KWDT) Dieng, Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, 23-25 Agustus 2024 yang lalu.
Wait.....Dieng kulon ? Banjarnegara ?
Yes. Sekedar menjelaskan saja, KWDT Dieng terutama lokasi utama tempat adanya Candi dan Telaga itu terbagi menjadi 2 wilayah. Desa Dieng Kulon masuk wilayah Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara dan Desa Dieng Wetan yang masuk wilayah Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Namun karena akses yang lebih mudah dan jarak yang lebih dekat dengan pusat kota, Dieng lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai Dieng Wonosobo (56,6 km via Kejajar vs 26 km via Karangkobar)...... meskipun faktanya sebagian besar wilayah di pusat wisata Dieng masuk desa Dieng Kulon. gitu .......
Kembali ke DCF ya .....
Dieng Culture Festival XIV tahun 2024 ini sesuai temanya memang mengusung konsep yang agak sedikit berbeda dengan penyelenggaraan sebelumnya. Kali ini ada lebih banyak acara diluar acara inti seperti Upacara Ruwat Rambut Gembel, Jazz Atas Awan, Senandung Atas Awan, Festival Lentera dan Lampion, seperti Kontes Domba Batur, Gebyar Damar Kurung, Sendratari Anak Gembel, Pertunjukan Seni Tradisional & Festival Caping Gunung, Festival Kopi Pegunungan Dieng, Festival kuliner dan bazar produk kreatif/UKM serta Dieng Bersholawat. Komplit.....
Khusus Kontes Domba Batur, acara ini sebenarnya sudah diselenggarakan sejah DCF sebelumnya. Namun ada yang berbeda kali ini yaitu adanya beberapa ekor domba batur yang diletakkan di luar kandang dan langsung bisa disentuh dan diberi makan oleh pengunjung. Sesuatu yang sangat menarik terutama bagi pengunjung anak anak dan pengunjung yang berasal dari luar kota. Apalagi domba batur adalah domba langka di Indonesia yang mungkin tidak akan dijumpai di daerah lain.
Seperti biasa, dari semua acara tersebut yang paling ditunggu pengunjung (baik yang beli tiket maupun nggak beli) adalah pertunjukan Jazz Atas Awan dimana selalu menghadirkan konser musik dari sejumlah musisi ternama Indonesia dan menampilkan lagu lagu andalannya di tengah suhu dingin Dieng.
Dieng Culture Festival XIV Tahun 2024 ini, musisi Tanah Air yang tampil pada konser Jazz Atas Awan antara lain Danilla Riyadi, Parade Hujan, ditutup oleh Pradikta Wicaksono. Penampilan mereka cukup sukses menghibur pengunjung meskipun banyak juga yang kecewa karena penyusunannya terkesan anti klimaks. Namun kekecewaan itu menjadi hilang ketika kode pelepasan lampion sudah dikumandangkan oleh pembawa acara.
Dengan aba aba dari MC di panggung ribuan lampion beraneka warna dilepas ke udara untuk kemudian menghias langit dengan warna merah, hijau dan oranye, pemandangan cantik di atas langit Dieng itu seperti biasanya selalu berhasil memukau sekitar 6000 pasang mata yang sedang menikmati suasana. Sebagai informasi, lampion DCF berbentuk unik karena cenderung bulat (berbeda dengan lampion Borobudur yang cenderung kotak memanjang) dan lampion tersebut tidak bisa terbang terlalu tinggi alias tidak dirancang bisa bertahan lama di udara. Tujuannya adalah agar tidak mengganggu lintasan penerbangan dan merusak lingkungan.
Asik, syahdu dan jelas meninggalkan kesan mendalam di setiap momennya.
itulah Dieng Culture Festival yang selalu tidak akan membosankan .......
By the way, kalo dari pengamatan pribadi, penyelenggaraan secara umum DCF kali ini relatif jauh lebih baik dan tertata dari penyelenggaran sebelumnya. Terlihat dari penukaran tiket, tata kelola venue, jalur pengunjung dan tamu undangan, kantong kantong parkir, kebersihan dan sebagainya.....
Oke.... kita ceritain satu persatu ya.
Ticketing area dan sekretariat panitia
Kali ini tempat penukaran tiket dan sekretariat panitia sudah lebih tertata dan rapi. Bahkan bisa dikatakan paling baik, karena disamping mudah ditemukan (ada di jalur masuk ke komplek Pendopo Soeharto Withlam dan parkiran candi arjuna), juga alur penukaran tiketnya sudah dipersiapkan dengan baik, dilayani banyak panitia dan voulentir, juga tepat berada di depan sekretariat yang menggunakan aula putih (bangunan yang merupakan gedung serba guna ini juga baru jadi lho gaes.....), lengkap dengan fasilitas kamar mandinya dan tempat yang luas untuk semua kegiatan kesekretariatan).
Sekretariat juga merupakan gedung serba guna dimana ruangannya cukup luas dengan fasilitas pendukung yang cukup lengkap. Bahkan masih ada space untuk tempat istirahat panitia serta volunteer bahkan agen biro wisata yang kecapekan karena padatnya acara.
Jalur Pengunjung dan Tamu Undangan dan Tata kelola Venue
Untuk yang satu ini, harus diakui bahwa gelaran Dieng Culture Festival XIV Tahun 2024 ini yang paling de best. Sebab semuanya direncanakan dengan matang dan berdasar pada pengalaman penyelenggaraan sebelumnya.
Bagaimana tidak ? pada tahun ini jalur pengunjung dan jalur tamu undangan dibuat sedemikian rapi dan jelas. Tidak seperti sebelumnya yang selalu membuat tamu VVIP pun kurang merasa nyaman.
Jalur tersebut dibuat melewati semua venue yang disediakan oleh panitia. Mulai dari masuk komplek candi arjuna, kemudian melewati jalur candi setyaki, venue pojok UMKM Banjarnegara, venue eKraf Banjarnegara baru kemudian masuk ke venue utama tempat digelarnya Jazz Atas Awan. Apik.
Selain itu, jalur pejalan kaki pengunjung dibuat semenarik mungkin dengan berbagai ornamen festival yang khas Dieng lengkap dengan pencahayaan dan tata lampu yang estetik. Bahkan ada juga spot pameran foto dan logo penyelenggaraan DCF dari waktu ke waktu, yang membuat pengunjung seakan dibawa kembali kepada memori Dieng Culture Festival yang sudah berlalu.
Kebersihan dan Kantong Parkir
Yes.....
indikator yang terakhir ini menjadi satu hal yang sangat jelas terlihat bedanya pada gelaran Dieng Culture Festival XIV Tahun 2024 ini. Kemacetan yang selalu menjadi "momok" pengunjung setiap tahun ternyata sangat berkurang karena pengelolaan kantong kantong parkir yang sangat efektif. Banyak kantong parkir disediakan oleh panitia bekerjasama dengan masyarakat Dieng yang mampu menampung ratusan kendaraan pengunjung sekaligus mengurangi parkir di pinggir/bahu jalan yang selalu menjadi "penyakit" pada tahun tahun sebelumnya.
Terkait dengan parkir, permasalahan kebersihan yang biasanya juga menjadi "cacat" di setiap kantong parkir dan sudut sudut Dieng juga ikut terselesaikan. Khusus kebersihan, kali ini banyak sekali volunteer persampahan (hebatnya mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia lho) yang dengan sigapnya menjaga kebersihan.
Hebat
Civil War, satu lagi film menarik tentang Jurnalis
“Every time I survived a war zone, I thought I was sending a warning home : Don’t do this,”
Kalimat yang disampaikan oleh Lee (diperankan oleh Kirsten Dunst) ini menurutku adalah inti dari film ini; Civil War.
Kekerasan tidak lagi terjadi di negara lain di belahan dunia lain. Kekerasan terjadi di rumah, di antara tetangga. Ngeri kan ?
Terus ada lagi kalimat yang masuk juga :
" What kind of American are you? "
"orang Amerika macam apa kamu?"
Pertanyaan menusuk yang dilontarkan oleh seorang warga di jalan ini adalah kutipan dari film, tetapi menurutku sangat relate dan tidak terlalu mengada-ada jika pertanyaan ini ditanyakan dalam kehidupan nyata. Bukan rahasia lagi bahwa Amerika saat ini adalah negara yang terpecah belah dan terpolarisasi, dan ketegangan tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat.
Civil War adalah film tentang perang distopia yang dirilis pada tahun 2024. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Alex Garland. Jalan cerita film ini mengikuti tim jurnalis yang melakukan perjalanan melintasi Amerika Serikat selama perang saudara antara pemerintah federal yang otoriter dan beberapa faksi regional. Beberapa scene dari film berdurasi 1 jam 49 menit ini juga cukup mengerikan jika dijabarkan. Salah satunya lewat suspense nonstop sepanjang durasi film, yang mana ini menjadi salah satu ciri khas dari Garland, yang memang ahli dalam mengusung elemen suspense serta thriller yang tinggi. Sutradara Alex Garland selalu menjadi pembuat film yang provokatif, dan dalam Civil War ia mengeksplorasi mimpi buruk distopia yang membayangkan skenario terburuk bagi negara tersebut. Suram dan sulit ditonton, Civil War adalah kisah peringatan yang tak henti-hentinya.
Btw apa itu distopia ?
Distopia (dari kata Yunani δυσ- dan τόπος, alternatifnya cacotopia,[1] kakotopia, atau anti-utopia) merupakan suatu komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan atau terkesan menakutkan.[2][3] Istilah ini diterjemahkan sebagai "tempat yang tidak baik". Distopia sering kali dicirikan dengan dehumanisasi,[2] pemerintahan totaliter, bencana lingkungan,[3] atau karakteristik lainnya sehubungan dengan kemerosotan nilai secara dahsyat dalam masyarakat. Masyarakat distopis ditampilkan dalam banyak subgenre karya fiksi dan sering kali digunakan untuk menarik perhatian terhadap isu-isu dunia nyata mengenai masyarakat, lingkungan, politik, ekonomi, agama, psikologi, etika, ilmu, dan/atau teknologi, yang jika tidak ditangani dapat berpotensi menyebabkan suatu kondisi seperti distopia.
Itulah yang bakal kamu temukan pada cerita film Civil War. Walau ceritanya diambil dari sudut pandang jurnalis perang, konflik yang ditampilkan film ini tetap terasa sangat intens dan membuat penonton bisa melihat kekacauan perang dari sudut pandang yang berbeda. Scoring filmnya benar-benar juara, sampai mampu membuat penonton seperti berada langsung di medan perang.
.jpg)
Civil War bukanlah film yang memerlukan deduksi cerdas untuk menguraikan pesan atau tema yang dimaksudkan. Alih-alih sindiran halus untuk memancing pikiran, film ini mencengkeram bahu penonton dan mengguncang mereka dengan hebat, membombardir mereka dengan visual yang mengejutkan dan momen-momen yang mengganggu. Ceritanya fiksi, tetapi jelas dimaksudkan untuk dikaitkan dengan kenyataan. Selama momen pembukaan film, ada beberapa klip pendek tentang apa yang saya yakini sebagai kerusuhan dan kekerasan di dunia nyata. Dengan menyertakan visual tersebut, film ini seolah menunjukkan bahwa Amerika sedang berada di bibir jurang yang siap untuk jatuh entah kapan waktunya.
Civil War hadir sebagai pembuktian bahwa film distopia ternyata juga bisa mengangkat konflik yang realistis dan dekat dengan kehidupan nyata. Kondisi dunia dan teknologi yang diperlihatkan pun masih benar-benar sesuai dengan keadaan dunia saat ini. Bahkan karena dari sudut pandang jurnalis perang, kita bisa melihat efek kekacauan akibat perang yang begitu depresif. Bagaimana enggak? Jurnalis perang harus tetap menjalankan tugas mereka walau ada kekacauan dan kematian di depan mata mereka. Layaknya tentara, jurnalis perang bahkan harus mempunyai naluri dan strategi sendiri ketika terjun di medan perang.
Civil War memperlihatkan bagaimana jadinya jika Amerika Serikat mengalami Perang Saudara kedua akibat pemerintah yang otoriter. Alhasil, Amerika Serikat terbagi dalam empat faksi dan presiden menjadi musuh besar untuk sebagian masyarakat Amerika Serikat. Menariknya walau mengangkat konflik tentang Perang Saudara, kisah Civil War diceritakan lewat perspektif sekumpulan jurnalis perang yang nekat mempertaruhkan nyawa mereka untuk bisa mengabadikan momen peperangan tersebut.
Poin menarik lainnya adalah film ini juga dikemas dengan konsep road trip yang dilakukan para jurnalis dalam mengejar berita yang mereka inginkan. Enggak hanya satu medan perang, penonton bahkan diajak untuk menyaksikan kekacauan beberapa medan perang sekaligus, ditambah dengan konflik internal yang terjadi di antara kelompok jurnalis perang yang kisahnya kita ikuti. Bahkan, ada satu momen yang mana para jurnalis terjebak dalam situasi bahaya yang benar-benar memacu adrenalin saat menontonnya.
Seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya, Civil War menampilkan sekumpulan jurnalis perang yang pergi ke Washington DC untuk mewawancarai presiden. Nah, sekumpulan jurnalis tersebut terdiri dari empat orang, di antaranya Lee Smith yang diperankan Kirsten Dunst, Joel yang diperankan Wagner Moura, Jessie Cullen yang diperankan oleh Cailee Spaeny, dan Sammy yang diperankan oleh Stephen McKinley Henderson. Keempat aktor yang memerankan karakter tersebut berhasil menciptakan chemistry yang sangat baik, sehingga penampilan mereka benar-benar saling melengkapi. Apalagi, masing-masing karakter hadir dengan karakteristik yang berbeda-beda.

Enggak hanya para pemeran utamanya, aktor-aktor pendukung lainnya juga tampil enggak kalah memukau walau kebanyakan dari mereka tampil cukup singkat di filmnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, para jurnalis mengunjungi beberapa medan perang selama perjalanan mereka ke Washington DC. Selama mampir, mereka dipertemukan dengan beberapa karakter yang diperankan dengan sangat baik oleh aktornya.
Civil War bahkan menampilkan satu adegan yang mana para jurnalis perang berada di suatu basecamp tentara. Pada momen tersebut, film ini hanya menampilkan suara kegaduhan yang memberikan efek imersif kepada penonton seakan berada langsung di lokasi tersebut. Nuansa perangnya pun semakin terasa realistis dengan desain produksi yang benar-benar berhasil menampilkan kekacauan perang.
Berdasarkan situs IMDb, Civil War juga mendapat rating cukup baik, yakni 7,1/10 dari 156K pengulas. Sementara pada laman Rotten Tomatoes, film ini mendapat rating 81 persen dari Tomatometer dan 70 persen dari penonton.
Penasaran ?
Gass .......
Pesta Ondol di Festival Kuduran Budaya Wanayasa
Pernah dengar Festival Kuduran Budaya Wanayasa ?
Masing asing ?
Banyak temennya kisanak …..
Festival Kuduran Budaya merupakan pesta rakyat buah dari
kreatifitas seniman muda Wanayasa dan sekitarnya, yang mana Wanayasa sendiri
merupakan salah satu daerah di bagian utara kabupaten Banjarnegara yang berupa
pegunungan dan memiliki komoditas utama dari bidang pertanian.
Masih asing ?
Kalau kalian tahu Dieng kan ?
Nah Wanayasa ini merupakan wilayah pendukung Dieng, berada
di jalur Pekalongan – Dieng via Kalibening. Kalau dihitung dengan waktu tempuh
sekitar 20 menit dari Dieng menuju ke arah Pekalongan.
Masih belum tahu ?
monggo pake aplikasi Google maps aja ….. hehehe …..
Lanjut ya,
Jadi gini ….. saking eratnya hubungan masyarakat di daerah
ini dengan salah satu komoditas pertanian yaitu singkong, mereka sampai menjadikannya
perlambang kemakmuran dan kerukunan. Hal ini dibuktikan dengan digelarnya pesta
rakyat dengan bahan baku utama singkong pada setiap panen rayanya.
Menurut mas mas panitia yang mau dimintai keterangan,
Kuduran Budaya punya sejarah dan kandungan semangat yaitu suatu momentum dimana
dulu Lurah mengajak semua wargannya untuk bersama-sama gotong royong dan
bahu-membahu membangun desa, menghidupkan desa, atau menjadikan desa sebagai
sumber yang memenuhi kehidupan jiwa dan kultural warganya.
Oke skip …….
Kita Kembali ke Festival Ondol ……
Pada Festival Kuduran Budaya tahun 2023 ini, acara diawali
dengan kegiatan memanen-cabut (mbedul) umbi singkong (tela) yang
diselenggarakan di Desa Wanayasa, tepatnya di Lapangan Desa Wanayasa setelah di
tahun-tahun sebelumnya sempat dilakukan di Desa Dawuhan dan Desa Tempuran.
Alasannya Ondol sebagai jajanan desa ingin dimaknai dan dilekati dengan
nilai-nilai positif oleh kelompok yang menggagas dan mengadakan festival seni
budaya lokal ini Seniman Muda Wanayasa (Sendawa) sebagai ajang
kerukunan Masyarakat antar desa di wilayah Wanayasa.
Acara utama Kuduran Budaya adalah Bentang Ondol
1.000 meter. Ondol adalah jajanan bulat sebesar bakso terbuat dari
singkong dan rasanya asin gurih. Biasa disajikan atau dijual dengan ditusuk
seperti sate, dan untuk satu sindik bambu terdiri atas 17 ondol. Menurut
Panitia, angka 17 tersebut bermakna 17 desa di Kecamatan Wanayasa dan 17 rakaat
sholat dalam sehari
Selain bentang Ondol 1.000 meter, Kuduran Budaya tahun ini
juga diramaikan dengan berbagai kegiatan yakni Wedding Vaganza, Peragaan Busana
Pengantin, penampilan Musik, Lomba Mewarnai, Sedekah Nada, dan Seribu Plendungan
yang dilaksanakan pada hari Sabtu, (23/09/2023) dan kegiatan mBedul Tela,
Goreng Ondol, Arak Ondol, Bentang Ondol Sewu Meter, dan Tumpengan yang
berlangsung di hari Minggu (24/09/2023)
Yang menarik dari festival ini adalah kekompakan masyarakat Wanayasa dan sekitarnya yang luar biasa. bayangkan saja, ribuan orang terlibat langsung dalam acara ini. Tua muda, laki laki perempuan, semua bekerjasama demi kesuksesan acara.
Di salah satu gang desa, puluhan ibu ibu berjejer membentuk kelompok masing masing dengan tugas yang berbeda. Ada yang mengolah ketela, ada yang membentuknya menjadi bulat, ada yang menggoreng, ada yang menusuknya menjadi sate ondol, ada juga yang kemudian menyusunnya menjadi gunungan ondol.
Di jalan raya bapak bapak dan pemuda menyiapkan karnaval mengarak gunungan ondol keliling desa yang kemudian akan berakhir di Lapangan desa Wanayasa. Disana, ribuan masyarakat sudah berkumpul untuk acara puncak festival ini.
Acara puncaknya apa ?
Tonton aja langsung deh di festival kuduran wanayasa tahun depan ....
Karena acara ini terlalu sayang untuk dilewatkan dan terlalu indah unutk diceritakan tanpa terlibat sendiri didalamnya ........ hehehe .......
Mbok Brendung, boneka cantik penuh magis pemanggil hujan
![]() |
Foto by Toha Trend - KPFB |
![]() |
Foto by Toha Trend - KPFB |