Kartu Baru di negeri ini, Kartu Identitas Anak

Tahun 2016 ini Kartu Identitas Anak (KIA) mulai diberlakukan, meskipun penerapannya baru akan dilakukan di 50 Kabupaten/Kota sebagai percontohan. KIA adalah identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota. Penerbitan KIA ini bertujuan untuk meningkatkan pendataan, perlindungan dan pelayanan publik, serta sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara jelas Mendagri Tjahyo Kumolo.


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewajibkan seluruh anak di Indonesia untuk memiliki Kartu Identitas Anak (KIA). Kartu ini mirip dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), namun dikhususkan bagi anak di bawah umur. Kewajiban tersebut, sekaligus sebagai payung hukumnya, tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 2/2016 Tentang Kartu Identitas Anak. Di mana, KIA berlaku sesuai batas usia anak, yakni anak usia 0-5 tahun dan anak berusia 5-17 tahun.

Khusus anak dari warga negara Indonesia (WNI), KIA diterbitkan bersamaan dengan penerbitan akte kelahiran. Sedangkan anak yang sudah berusia 5 tahun tapi belum memiliki KIA wajib menunjukkan persyaratan sebagai berikut:

1. Fotocopy kutipan akta kelahiran dan menunjukan kutipan akta kelahiran aslinya
2. KK asli orang tua/wali; dan
3. KTP elektronik asli kedua orangtuanya/wali.

Sedangkan, anak WNI yang telah berusia 5 tahun tetapi belum memiliki KIA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Fotocopy kutipan akta kelahiran dan menunjukan kutipan akta kelahiran aslinya
2. KK asli orangtua/wali
3. KTP elektronik asli kedua orangtuanya/wali
4. Pas foto Anak berwarna ukuran 2 x 3 sebanyak 2 (dua) lembar.

KIA juga diberikan bagi anak WNA. Untuk memilikinya, orangtua harus menyiapkan persyaratan berikut:

1. Fotocopy paspor dan izin tinggal tetapi
2. KK Asli orang tua/wali
3. KTP elektronik asli kedua orangtuanya.

Kemendagri juga telah menyisipkan tata cara membuat KIA. Caranya tercantum dalam Pasal 13 Permendagri Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak:

1. Pemohon atau orangtua anak menyerahkan persyaratan penerbitan KIA dengan menyerahkan persyaratan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
2. Kepala Dinas menandatangani dan menerbitkan KIA.
3. KIA dapat diberikan kepada pemohon atau orangtuanya di kantor Dinas atau kecamatan atau desa/kelurahan.
4. Dinas dapat menerbitkan KIA dalam pelayanan keliling dengan cara jemput bola di sekolah-sekolah, rumah sakit, taman bacaan, tempat hiburan anak-anak dan tempat layanan lainnya, agar cakupan kepemilikan KIA dapat maksimal.

Sementara bagi anak warga asing, cara pembuatan KTP Anak dilakukan dengan langkah berikut ini:

1. Terhadap anak yang telah memiliki paspor, orangtua anak melaporkan ke Dinas dengan menyerahkan persyaratan untuk menerbitkan KIA.
2. Kepala Dinas menandatangani dan menerbitkan KIA.
3. KIA dapat diberikan kepada pemohon atau orangtuanya di kantor Dinas Pencatatan Sipil terdekat

Menurut Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrullah, Program tersebut merujuk pada Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU adminisrtrasi kependudukan data yang digunakan untuk pembangunan demokrasisasi dan pemberdayaan masyarakat. NIK sebagai kunci pembangunan perencanaan dengan bersumber Kemendagri. Pembuatan kartu tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan dari karang taruna, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di masing-masing daerah. Elemen data yang ada pada kartu tersebut meliputi data NIK, nomor KK, tanggal lahir, nama, alamat, dan anak ke berapa. Sementara hobi dan prestasi dicantumkan secara sendiri melalui data base yang telah disiapkan di masing-masing daerah. sumber awal: Merdeka.com
2.14.2016
Posted by ngatmow

Welcome to the world my boy

Alhamdulillah .......... satu kata yang keluar dari mulut ini begitu dia keluar dari rahim bundanya pada hari Rabu 30 Desember 2015 jam 03.10 dini hari......... Ga kuasa menahan haru dan takjub membuat air mata ini meleleh tanpa terasa.

Yup, bayi mungil yang sudah ditunggu 9 bulan lamanya akhirnya hadir di dunia, di tengah tengah kami, di tengah saya, bundanya dan kakaknya, Zizi. Seorang cowok kecil yang menjadi pelengkap keluarga kecil kami.

Abdan Rakha Assaid Al Azis, begitu nama yang kami sematkan padanya. Seorang hamba Allah SWT yang perkasa dan mempunyai kehidupan yang bahagia serta senantiasa sejahtera.........
Sebuah nama yang berisi doa kami sebagai orang tua dengan harapan agar sampai akhir hayatnya kelak dia akan selalu bahagia dan sejahtera. Amin......

Selamat datang di dunia ini boy, semoga Alloh SWT selalu bersamamu, menjagamu, melindungimu, menuntunmu ke jalan cahayaNya dan memberikan kemurahan rizki-Nya sampai akhir masa.

Tak lupa kami hanya bisa berdoa supaya Yang Maha Esa senantiasa memberikan kemurahan rizkinya, memberikan kelonggaran pikiran, ketahanan fisik dan rokhani, ketetapan iman dan bibit kebahagiaan agar bisa kami tularkan kepadamu serta bisa memenuhi tugas sebagai orang tua ........ Amin Amin Ya Robbal 'alamin



1.03.2016
Posted by ngatmow

Mari ngobrol soal Sidang Mahkamah Konco Dhewe

Kemarin sore nggak seperti biasanya saya sempatin nonton tivi khusus di bagian berita nasional (karena biasanya tivi selalu dikuasai Zizi buat nonton kartun atau malah the f@#king d#mned indiahe di salah satu tivi swasta). Dan apa yang saya dapatkan adalah sebuah kabar yang luar biasa mengecewakan.

Satu kata yang terucap dari mulut saya saat itu : A $ Uuuuu..................

Maaf sodara sodara, bukannya saya berniat untuk ngomong tidak baik. Tapi begitulah yang terjadi secara reflek dan tanpa kontrol. Kenapa ? yang tersiarkan di tivi bukannya suatu hal yang terkait dengan pembangunan atau berita politik yang menarik namun kondusif dan sehat serta menjujung tinggi amanat rakyat (sehingga mereka kemudian disebut "terhormat"), melainkan berita para badut laknat yang sedang bersidang di Mahkamah Konco Dewe........... #damnit

Yup, Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan agenda meminta keterangan Ketua DPR Setya Novanto terkait skandal “papamintasaham” akhirnya digelar tertutup. Keputusan itu diambil lantaran permintaan dari Novanto langsung. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komitmen majelis yang menginginkan agar sidang dilakukan secara terbuka. What the hell happened man....???

Sidang Novanto hanya berlangsung sekitar tiga jam dan digelar tertutup. Padahal dalam dua persidangan sebelumnya, rapat berlangsung alot dengan tanya jawab hingga berlangsung sampai malam hari. Bahkan,tersiar kabar, seluruh aktivitas dalam sidang tidak boleh direkam atau dicatat siapapun. lalu bagaimana caranya mereka nanti mengambil keputusan? apa buktinya ? apa dasarnya ? apa ? apa ? dan apa?

Ada apa ini ?
"Ya karena 'kecanggihan' yang menjawab. Kalau jawaban bagus, ruang untuk mendalami jadi tidak terlalu luas," kata ketua MKD Surahman Hidayat di sela rapat internal di depan ruang sidang MKD, gedung DPR, Jakarta, waktu ada pertanyaan dari wartawan.

Memang sih dia tidak merinci maksud dari 'kecanggihan' Novanto dalam menjawab. Dia menyebut hasil persidangan yang berlangsung singkat tadi saat ini sedang dibahas dalam rapat internal MKD. Tapi ada seorang sumber juga yang mengatakan bahwa hal itu tak lain terkait dengan nota pembelaan Setya Novanto sebanyak 12 halaman yang dibacakan dalam sesi pertama persidangan. Dalam pembelaannya, Novanto membantah semua keterangan Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin.

Asal tahu saja sebelumnya Ketua DPR Setya Novanto meminta agar persidangannya sebagai teradu di MKD ditunda pukul 13.00 WIB, dari yang semula dijadwalkan pukul 09.00 WIB. Apa alasannya?
"Sehubungan ada kegiatan lain yang tidak dapat saya tinggalkan, maka saya mohon agar sidang dapat diundur menjadi pukul 13.00 WIB," ucap ketua MKD Surahman Hidayat membacakan surat dari Novanto di ruang sidang MKD gedung DPR, Jakarta, kepada wartawan.....
Surahman mengatakan tak ada penjelasan soal kegiatan apa yang dimaksud oleh Novanto, namun karena surat belum diterima pukul 09.00 WIB, maka MKD bisa memenuhi permintaan itu.

Padahal kalau memang menggunakan etika, seharusnya ada penjelasan kegiatan apa yang membuat sidang ditunda kan ? kenapa ini tidak ada sodara-sodara ? misalnyalah ada hal-hal substansi Pak Novanto sebagai ketua DPR misal bertemu tamu negara, rapat dengan Presiden atau membuka acara penting lainnya di tempat yang lain.... lha ini ??

Oke, saya coba untuk mengatur nafas agar pikiran saya tetap jernih sebelum memindahkan channel tivi ke tivi wan yang "biasanya" selalu nyeleneh.... ternyata beritanya sama sodara-sodara..... malah dari hasil investigasi ala tivi, saya kok jadi merasa bahwa bahwa Menteri ESDM, Sudirman Said yang notabene saat ini sebagai saksi pelapor merasa dikuliti dan dihakimi oleh anggota sidang MKD, sehingga merasa dirinya lah yang menjadi terdakwa. Banyak pertanyaan anggota MKD yang keluar dari konteks apa yang dilaporkan. Aneh kan? Mungkin esensi dari sidang yang katanya sidang etik ini tidak dipahami oleh anggota MKD. Sehingga keliatan mereka menanyakan saksi pelapor, seakan bertindak sebagai pengacara terdakwa dalam film film detektif. Ya, dengan “menguliti” Sudirman Said sebagai pelapor/pengadu, keliatan anggota MKD, terlihat sebagai pengacara “terdakwa” Setya Novanto, yang ingin membebaskan Setya Novanto atau bisa meringankan hukuman Setya Novanto. Belum lagi jika kita lihat betapa banyaknya orang yang terus mengupas tentang niat Sudirman Said melaporkan Setya Novanto. Masih ditambah lagi dengan argumen tentang sah atau tidak, boleh atau tidak jika pembicaraan kita atau pejabat direkam... bah......

Semua itu keluar jauh dari pokok masalah mannnnnn......... Benar, mungkin saja ada maksud tertentu dari Sudirman Said melaporkan Setya Novanto. Pertanyaannya, apakah salah jika ada seorang perampok yang melaporkan ke polisi akan terjadi aksi perampokan? Tolong dipikir pelan pelan sambil mengatur nafas deh kisanak...
Jika itu terjadi pada diri kita atau rumah kita yang ingin dirampok. Apakah kita akan menyalahkan perampok yang melapor? Bukankah Indonesia adalah rumah kita? Bukankah sebaiknya polisi menindak lanjuti dulu laporan perampok itu, baru kemudian memproses pelapor yang diduga sebagai perampok? Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin yang merekam pembicaraannya karena menduga akan ada rencana dan pembicaraan yang aneh aneh. Silahkan saja jika ada yang berpendapat bahwa hal itu melanggar undang undang. Tapi apakah tidak berpikir bahwa ada kepentingan yang lebih besar dan ada pelanggaran yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Maroef Sjamsuddin? Misalkan saja, Maroef Sjamsoeddin dianggap bersalah merekam pembicaraan itu, lalu apakah niat Setya Novanto dan Muhammad Reza bisa dibenarkan? Apakah kesalahan Maroef Sjamsuddin bisa menggugurkan tuduhan kepada Setya Novanto dan Muhammad Reza?

entahlah........permasalahan hukum di negeri ini memang sudah begitu akut man..... tidak ada yang pasti dalam konteks hukum saat ini (terutama jika menyangkut mereka "yang terhormat"


Satu hal lagi yang menurut saya menjadikan sidang ini hanya dagelan saja adalah seorang kolega "terdakwa" yang kebetulan ditunjuk menjadi ketua sidang. Kahar Muzakir. Setya Novanto dan Kahar Muzakir adalah kader partai yang sama yaitu Golkar man.......
Ada konflik kepentingan dan menjadi makin jelas saling melindungi antara sesama, apalagi jika mengingat keduanya sangat akrab dan keduanya pernah diduga terlibat menerima aliran suap dana PON. Itu terbukti dengan dipenuhinya permintaan Setya Novanto untuk menjadikan sidang MKD menjadi sidang tertutup. Padahal sudah jelas mengadakan sidang tertutup, bisa dianggap melanggar undang undang mengenai informasi publik, seperti tertera dalam UUD Dasar 1945 pasal 28F* dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008*, tentang keterbukaan informasi publik.... (sumber : kompasiana)

Dalam siaran berita lain, muncul wajah bapak presiden Jokowi yang nampak sangat serius dalam menyampaikan pernyataannya kepada media “Proses yang sedang berjalan di MKD harus kita hormati...” kata Jokowi, lalu terdiam sesaat, kemudian lanjutnya dengan intonasi menahan marah, “Tetapi, ...tapi, yang namanya lembaga negara itu dipermain-mainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga-lembaga negara yang lain. Saya enggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden sarap, presiden koppig, engak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen, itu yang saya enggak mau, enggak bisa! Ini masalah kepatutan dan kepantasan, masalah etika, moralitas! Dan itu masalah wibawa negara!” sama sekali tidak ada senyum secuil pun di wajahnya, sebagaimana biasanya. Setelah mengungkapkan kemarahannya itu, Jokowi bilang, “Cukup!” Lalu berbalik berjalan cepat-cepat tanpa menggubris lagi pertanyaan wartawan. *metronews

Jelas Presiden Jokowi sudah hilangkepercayaannya sama sekali kepada Setya Novanto, yang sudah mencatut namanya sebagai Presiden secara begitu terang-terangan. Ungkapan kemarahan Jokowi itu seharusnya menjadi peringatan keras bagi MKD, agar jangan coba-coba lagi bermain-main dengan kasus ini. Jika MKD benar-benar nekat, dengan akhirnya memutuskan bahwa Setya Novanto tidak bersalah sehingga ia tetap boleh meneruskan jabatannya sebagai ketua DPR, bisa dipastikan, bahwa persoalannya bukan selesai, tetapi akan semakin panas. Eskalasi politik pasti akan meningkat cepat mencapai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap parlemen. DPR yang ada nanti adalah DPR yang sudah kehilangan kredibilitasnya sama sekali, jauh lebih parah daripada DPR di zamannya Orde Baru. DPR akan semakin dipandang rakyat hanya sebagai suatu lembaga hina, gedung tempat bernaungnya para penggarong dan para pelindungnya. Dalam kondisi demikian, bagaimana bisa badan legislatif itu bisa menjalan kerjasama yang baik dengan eksekutif sebagaimana diwajibkan konstitusi?

Cukup disini kita sebagai rakyatlah yang harus ingat bahwa ini sidang politik. Yang mana, bukan kebenaran yang dicari, tapi adu kekuatan dan adu lobi politik yang diperlukan. Sehingga otomatis mereka yang berada dalam ruang sidang tidak akan pernah mau mendengarkan suara sumbang dari rakyat dan tidak akan pernah memikirkan kepentingan yang lebih besar. Yang lebih penting dipikirkan oleh mereka, bagaimana caranya supaya bisa saling melindungi sesama orang partainya dan koleganya.....

Mungkin mereka sudah lupa bahwa masih ada sangat sangat banyak warga negara kita tercinta yang memantau setiap polah tingkah mereka sambil mengelus dada dan menggelengkan kepala. Mungkin mereka sudah lupa bahwa masih ada jutaan warga bangsa ini yang berpikiran lurus jernih serta menyesal sudah memilih mereka pada pemilu yang lalu.......
Akhirnya kembali kepada kitalah yang masih waras serta bisa berpikir jernihlah yang harus berusaha bersabar diri, mencoba berhati dingin berpikiran terbuka sendiri dan mencoba untuk bisa menelaah apa yang seharusnya kita lakukan di kemudian hari. Biarkan mereka yang terhormat itu berkarya sendiri dan semoga besok ketika mereka mati tanah akan mau menerima mereka di liang lahatnya sendiri tanpa perlu dilipat lipat di bagian tangan dan kaki ................. amin.................



12.08.2015
Posted by ngatmow

Coretan Cak Nun : Pamangku Buwono Mamayu Bawono

Kembali lagi saya browsing ke website pribadi salah satu tokoh idola saya, Cak Nun, dan saya menemukan satu dari banyak tulisan yang mungkin adalah jawaban atas kegundahan beberapa orang kawan saya beberapa waktu terakhir ini. Apa itu ? tidak lain adalah wacana perubahan PNS menjadi ASN ...... Pegawai Negeri Sipil menjadi Aparat Sipil Negara....... serupa tapi tidak sama........... mari kita simak.......

courtesy : Mbah Google
Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara.

Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR).

Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi.

Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan.

Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika.

Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat.

Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”.

Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.

Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat.

Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat.

Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah.

Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir.

Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka.

Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji.

Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1.

Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan.

Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’.

Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan.

Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka.

Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka?

Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu.

Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung?

Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat.

Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi.

Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”.

Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan.

Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu.

‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya.

Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kwantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya.

Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi.

Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari.

Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi.

Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkwalitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan.

Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya.

Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau.

Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia.

Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”.

Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota.

Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita.

Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan.

Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu.

Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut.

Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran.

Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka.

Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga.

Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. ***


Yogya 14 Mei 2015.

*copas total dari CakNun.com ..... maturnuwun Cak .......... #sungkem
12.01.2015
Posted by ngatmow

dilematis literasi visual versi saya

Membaca sebuah kalimat dari tulisan senior saya kak Radityo Widiatmojo dalam blognya fototiptrik.blogspot.co.id,  .....Fotografi akan lebih bermakna jika digunakan sebagai medium bercerita bukan sebagai pengumbar hawa...... mengundang senyum lebar di bibir saya yang katanya seksi ini. Hehehe....

Kenapa?
Sebab saya sangat setuju sekali dengan kalimat tersebut man... Kalimat yang seolah olah menceritakan apa yang sedang terjadi dan menjadi trending topic di dunia fotografi belakangan ini. Memang sih tidak semuanya pelaku fotografi (baik itu penggemar, penghobi maupun pekerja foto) berlaku seperti itu, namun apa yang terjadi di lingkungan saya terutama di kalangan anak anak muda (yang tentu saja seumuran dengan saya dan yang lebih muda lagi) menunjukkan kecenderungan bahwa hal tersebut adalah benar adanya.

Terkadang miris juga sih melihat atau membaca atau menjumpai anak muda seumuran saya yang masih eSeMA bercerita kepada temannya bahwa dia mau memotret seorang model dengan busana "minimalis" bersama teman-teman "fotografernya" (alias keroyokan) di suatu tempat yang menurut saya bahkan kalau disambungkan dengan busana yang diceritakannya itu sama sekali nggak nyambung temanya.....
Apakah ini bukan yang namanya pelecehan berkedok fotografi ??
Maaf bila salah, namun menurut saya hal tersebut sangat sangat tidak masuk akal dan menimbulkan banyak tanda tanya besar di kepala saya. Apa fotografi bagi dia hanya sebatas itu saja? apakah dia seorang fotografer hebat yang kemudian mendapatkan bayaran super besar setelah sesi pemotretan? atau hanya kemudian hanya untuk mendapatkan tanda jempol luar biasa banyak di media sosial semacam Fesbuk, Twiter atau Ige ?
Dan kenapa ada seorang perempuan muda nan cantik yang mau tubuhnya diabadikan sedemikian detil (bahkan hingga lubang pori-porinya kelihatan) untuk kemudian diekspos sedemikian sehingga di media sosial? dimana harga diri dan norma yang seharusnya dijaganya?

Entahlah..... mungkin saya yang terlalu kuno atau tidak kekinian. Tapi jujur saja, sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan dan seorang kakak dari beberapa adik perempuan, juga seorang anak dari seorang perempuan hebat, hati nurani saya sangat sangat tidak menyetujui hal semacam itu.........

Dalam tulisannya kak kak Radityo Widiatmojo juga menulis soal salah satu saran yang banyak disarankan fotografer hebat nan berpengalaman adalah "follow your passion"... yang bahkan kalimat tersebut berlaku di bidang-bidang lain selain fotografi. Menurutnya mengikuti kata hati bisa berdampak besar terhadap hidup kita dan harus diakui hal itu memang benar adanya man, karena biasanya dikaitkan dengan pilihan-pilihan sulit dalam hidup. Namun apa jadinya bila jika anda membaca sebuah kalimat "PASSION SAYA DI FOTO MODEL..."?

Berikut sedikit penggalan tulisan beliau yang cukup menggelitik bagi saya, namun saya SANGAT MENYETUJUINYA.

Pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL.." memang syah syah saja dan tidak salah. Namun ini menunjukkan barometer literasi visual fotografi di tanah air. Di Indonesia banyak sekali bertebaran klub foto yang mengadakan "hunting model". 1 model bisa digruduk 10-30 orang. Saya tidak munafik, saya dulu juga seperti itu, pernah mengalami hal demikian, pernah merasakan euforia motret model ditengah hiruk pikuk kerumunan fotografer yang masih dalam tahap belajar. Sekali lagi saya pernah merasakannya. Asyemmmm. Asyemmm karena sadar bahwa literasi visual saya saat itu begitu dangkal. Hasyem karena tidak seharusnya memperlakukan seorang model seperti itu. Tidak terjadi komunikasi antara model dan fotografer kan. Lha wong sang model dipanggil, "mbak'e noleh sini.." "mbak, mbak noleh atas mbak.." "Non, kiri kiri Non.." "Oke mbak, sekarang noleh ke saya ya mbak Manis..." Jika saya jadi modelnya ya amsyong lah. Model juga manusia bung, janganlah jadikan beliau sebuah objek yang dinikmati secara fotografis dan masif. Berkaitan dengan literasi visual, nampaknya literasi visual dalam satu dekade ini "masih" lebih banyak berseliweran foto-foto model dalam lini masa sosial media mereka, sehingga memaksa seseorang untuk melontarkan pernyataan "PASSION SAYA DI FOTO MODEL" secara sadar dan bangga.

Hunting model bagi saya adalah aktifitas untuk memenuhi hasrat indrawi para penghobi fotografi dan bukan sebagai ajang edukasi yang pas. Outputnya pasti jelas di upload di internet, yang berarti menambah kontribusi literasi visual foto model, emboh model opo. Jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar" antara model dan fotografer, mengapa tidak dikemas dalam format yang lebih edukatif dan interaktif? Satu mentor, satu model, dan maksimal 4 fotografer-lah. Jangan satu model dihajar habis orang 10 lebih. Di Sydney memang ada model motret grudukan seperti ini, tapi bukan model. Istilah motret bareng itu "Photo Walk", lebih ke arah dokumenter, landscape, street atau arsitektur. Kalau mau bikin "portrait" seorang model, teman-teman saya cenderung di studio untuk belajarnya, dengan format 1 model untuk 1 fotografer dan 2 asisten (1 model 1 fotografer). Begitu sang model dan fotografer sudah pede dan "mengenal" karakter masing-masing, maka mereka akan janjian lagi untuk pemotretan outdoor. Moda seperti itu jauh lebih efektif jika mengatas-namakan "Sama-sama Belajar". Bagaimana dengan lomba motret model yang rame-rame juga? Kalau itu bisa diapresiasi karena memang model profesional di bayar dengan profesional pula.

"Lantas apa yang bikin dilematis? Kan suka-suka saya ingin motret apa. Haknya saya kan. Kamera-kamera saya sendiri. Foto-foto saya sendiri. Facebook-facebook saya sendiri. Apa hak anda cawe-cawe passion saya?" Mungkin lontaran pertanyaan bernada offensive seperti ini akan memelihara jenis pembelajaran (motret model grudukan) tetap menjadi primadona. Seakan foto Model dan motret grudukan adalah dua sejoli yang tidak bisa dilepas.

Lantas?

Meskipun motretnya tidak grudukan, namun sosial media juga mengundang dan menggelitik fotografer untuk menggunggah foto Model di komunitas yang banyak penggemar foto Model. Lantas, sosial medialah yang menjadi tujuan akhir. Bukan rahasia umumlah jika upload foto di sosmed itu kabur batasannya antara "sharing", "minta saran" atau "pamer". Coba saja lihat berbagai group fotografi di FB, banyak sekali saya ditemui foto-foto (mohon maaf) tidak seronok/vulgar, tidak pantas dan berujung pada pamer kebinalan dari mata fotografer. Lebih binal lagi yang komentar, aduhhhhh benar-benar merusak komunitas fotografi di Indonesia deh.

Lantas (lagi) ada rekan saya dari negara tetangga yang bertanya "Lha piye je solusine?" Ya lha yo modyar kalau saya disuruh membuat solusinya, itu hak mereka atas bagaimana menggunakan karunia terindah dari Sang Pencipta, berupa mata. Gunakanlah mata fotografis anda dengan bijaksana, janganlah menindas tubuh atas nama "belajar" apalagi atas nama cinta.


Kalimat terakhir adalah kalimat yang menurut saya sangat menusuk hati yang terdalam. Hehehe........ sebab banyak pemahaman (terutama bagi mereka yang sudah saya sebutkan diatas) tentang fotografi (terutama model, portrait dan fashion) yang pada akhirnya secara tidak langsung akan menyentuh langsung pada  hal tersebut.

Bagi saya pribadi, fotografi merupakan sebuah wahana dimana kita bisa mengabadikan semua hal, semua moment, dan segala apa yang bisa kita lihat dan nikmati untuk kemudian dibagikan kepada orang lain untuk dinikmati bersama sama. Tidak hanya yang indah dan harus berbentuk sesosok tubuh menawan dengan balutan busana minimal saja, tapi juga segala hal yang ada di sekeliling kita sebagai bentuk keperdulian kita terhadap lingkungan.
Tapi satu hal yang begitu penting dan musti kita pahami sebelumnya (namun sering dilupakan oleh mereka-mereka, temen-teman yang hanya mengejar nafsu indrawinya saja) yaitu bagaimana belajar memahami kamera dan bagaimana membuat foto yang baik dengan beragam genrenya. Tidak lupa juga belajar menjadi santun dalam berfotografi adalah proses yang harus dilatih setiap hari. Fotografer juga manusia, kan? Kita bisa selalu berempati dan bersimpati.

Ingat kisanak, fotografer adalah orang yang paham dengan nilai seni dalam hasil jepretannya di mana letak keindahan atau nilai seninya karena bisa dinikmati siapa saja dan siapapun harus menerima keindahan dengan rasa enak, nyaman akhirnya ihlas menerimanya, jadi seni itu indah dalam format kebersamaan, tidak indah apabila cuma dinikmati dan memberi rasa puas hanya sepihak saja.
Menurut saya pendidikan dalam konteks seni dalam hal jepret menjepret dengan kamera khususnya fotografi juga otomatis seharusnya mengajarkan manusia Indonesia terutama fotografer kita supaya punya tata krama/etika. Jadi fotografer jangan hanya menuruti hawa nafsu saja man, namun juga masih banyak hal lain yang juga harus diperhatikan, dipahami dan diamalkan sehingga menjadi satu kesatuan yang kemudian bisa dipertanggung jawabkan secara moral dan spiritual....halah............

Sudah itu saja..............
11.10.2015
Posted by ngatmow

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow