Tembakau Lembutan Bansari, eksistensi tradisi asli tembakau Temanggung
Kalau ngomongin Temanggung, pasti banyak orang langsung kepikiran sama tembakau.
Yup, kabupaten di kaki Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing ini memang udah terkenal sebagai “surga tembakau”. Aroma khasnya bisa bikin siapa aja yang nyium langsung kebawa suasana pegunungan yang adem dan asri. Tapi, ternyata bukan cuma soal kualitas tembakaunya aja yang bikin Temanggung terkenal. Ada juga tradisi unik yang masih dijaga sampai sekarang, salah satunya adalah tembakau lembutan dari Desa Bansari.
Mungkin banyak yang masih asing sama istilah “lembutan”.
Jadi gini, lembutan itu sebenarnya salah satu cara atau proses pengolahan tembakau tradisional khas Bansari. Proses ini udah turun-temurun dari leluhur dan dipercaya bisa bikin rasa serta aroma tembakau jadi lebih mantap. Anak muda sekarang mungkin lebih sering lihat tembakau jadi rokok atau cerutu, tapi sebelum itu, ada proses panjang dan penuh makna di baliknya. Dan yang paling asik, tradisi ini bukan cuma sekadar urusan produksi, tapi juga punya nilai sosial, budaya, bahkan spiritual yang kental.
Tembakau lembutan bisa dibilang adalah “signature style” orang Bansari dalam mengolah tembakau. Setelah dipanen, daun tembakau nggak langsung dijemur atau diolah kayak biasanya. Mereka punya teknik khusus : daun tembakau ditumpuk dengan cara tertentu, dibiarkan dalam keadaan agak lembab, lalu melalui proses fermentasi alami. Proses ini bisa berlangsung berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tergantung kondisi cuaca dan kelembapan.
Kata “lembutan” sendiri diambil dari kata “lembut”, yang menggambarkan tekstur daun tembakau setelah melalui proses ini. Hasil akhirnya, tembakau punya aroma yang lebih dalam, lebih legit, dan punya karakter kuat khas Temanggung yang nggak bisa ditiru daerah lain.
Buat warga Bansari, lembutan bukan sekadar urusan dagang. Ibaratnya, lembutan itu udah kayak ritual budaya. Proses nglembut tembakau biasanya dilakukan bareng-bareng, gotong royong, dan penuh kebersamaan. Bayangin aja, satu keluarga atau bahkan satu kampung bisa ikut bantu ngerjain, mulai dari nyusun daun, ngawasin kelembapan, sampai ngecek kapan waktunya dibuka.
Di momen kayak gini, biasanya suasana jadi rame. Obrolan ngalor-ngidul, cerita masa lalu, sampe candaan receh khas orang kampung bikin pekerjaan yang capek jadi terasa ringan. Jadi, ada semacam nilai kebersamaan dan silaturahmi yang tumbuh dari tradisi ini.
Nggak berhenti di situ, banyak juga yang percaya kalau nglembut itu harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh rasa syukur. Ada semacam doa-doa kecil yang dipanjatkan supaya hasilnya bagus. Kalau tembakau lembutan jadi berkualitas, otomatis harga jualnya naik, dan itu berarti rejeki buat banyak keluarga.
Kenapa tembakau lembutan Bansari begitu istimewa? Lokasi geografis punya peran besar. Desa ini berada di ketinggian sekitar 1.200 mdpl, pas banget di lereng Gunung Sumbing. Cuaca sejuk, tanah subur, dan kabut yang hampir tiap hari nyelimutin desa bikin tembakau di sini punya cita rasa unik.
Bayangin aja, tiap pagi petani berangkat ke ladang dengan pemandangan sunrise di atas gumpalan awan yang menghampar sangat luas plus pucuk pucuk gunung (Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Telomoyo) yang berdiri gagah di kejauhan. Sambil jalan, mereka bisa lihat hamparan kebun tembakau yang luas, daunnya hijau mengkilap, basah kena embun. Suasana kayak gini yang bikin tembakau Bansari punya cerita dan daya tarik tersendiri.
Di era sekarang, banyak anak muda desa yang lebih tertarik merantau ke kota daripada melanjutkan tradisi leluhur. Tapi, ada juga lho generasi muda Bansari yang tetap bangga sama warisan ini. Mereka mulai bikin konten di media sosial tentang proses nglembut, bahkan ada yang bikin vlog atau TikTok biar orang luar tahu kalau tembakau Bansari itu bukan hal biasa.
Selain itu, beberapa komunitas anak muda di Bansari juga udah mikirin gimana caranya biar lembutan tetap eksis tapi nggak ketinggalan zaman. Misalnya, ada yang coba bikin branding tembakau lembutan dengan kemasan modern, atau ikut pameran produk pertanian. Jadi, warisan budaya tetap jalan, tapi bisa juga masuk pasar global.
Kalau dilihat sepintas, lembutan mungkin cuma soal cara ngolah tembakau. Tapi juga identitas, jati diri, sekaligus kebanggaan masyarakat Bansari. Bayangin kalau tradisi ini hilang, berarti hilang juga satu cerita penting dari budaya Temanggung.
Apalagi, di tengah arus globalisasi, orang makin mudah ninggalin hal-hal tradisional. Nah, justru lembutan ini bisa jadi salah satu daya tarik wisata budaya. Bayangin aja kalau ada paket wisata “Belajar Nglembut di Bansari” — turis bisa langsung ikut prosesnya, dengerin cerita dari petani, sampai ngerasain suasana asli desa pegunungan. Seru banget kan?
Tradisi tembakau lembutan di Bansari bukan cuma tentang cara mengolah daun tembakau, tapi juga tentang cara hidup, kebersamaan, dan rasa syukur masyarakatnya. Dari proses sederhana ini, lahirlah produk berkualitas yang udah terkenal sampai luar negeri.
Dan yang paling penting, lembutan jadi pengingat buat kita semua bahwa warisan leluhur nggak boleh dianggap sepele. Di balik aroma wangi tembakau, ada kerja keras, doa, dan cerita panjang yang bikin Bansari layak disebut sebagai salah satu pusat budaya tembakau paling keren di Indonesia.
Jadi, kalau suatu saat kamu main ke Temanggung, jangan cuma hunting kopi atau wisata gunung aja. Sempetin mampir ke Bansari, ngobrol sama petani, dan ngerasain langsung bagaimana tradisi lembutan bikin tembakau jadi “hidup”. Siapa tahu, kamu pulang-pulang nggak cuma bawa oleh-oleh tembakau, tapi juga bawa cerita dan pengalaman yang nggak bakal terlupa.
Workslop, berantakannya dunia kerja akibat AI
Pernah dengar istilah workslop?
Ini bukan typo dari workshop kok gaes, tapi sebuah istilah baru yang lagi ramai dibahas gara-gara maraknya penggunaan kecerdasan buatan alias AI.
Apa itu ?
Workslop merujuk pada kondisi di mana banyak pekerjaan jadi campur aduk, aneh, atau terasa “sloppy” karena hasilnya kebanyakan diproduksi sama AI tanpa filter kualitas yang jelas. Jadi kebayang kan, kalau dulu kita bisa bedain mana karya manusia dan mana yang asal-asalan, sekarang batasnya makin kabur.
Kenapa bisa terjadi sih ? Jelas Fenomena ini lahir karena AI makin gampang diakses.
Bagaimana nggak coba, kalian mau bikin artikel? Tinggal ketik prompt. Desain logo? Sekali klik jadi. Bikin apikasi atau website, tinggal tuangin ide jadi sebuah kalimat trus tekan enter, done. Video, musik, bahkan suara orang pun bisa direkayasa. Hasilnya, konten membanjiri internet dengan kecepatan luar biasa.
Dari satu sisi, ini keren banget—semua orang jadi bisa “berkarya” tanpa harus punya skill teknis. Tapi di sisi lain, lautan konten ini bikin kualitas jadi campur aduk. Ada yang bener-bener niat, ada juga yang cuma sekadar upload demi eksis. Nah, tumpukan konten campur-campur inilah yang disebut workslop.
![]() |
AI sekarang tuh ibarat mie instan. Praktis, murah, gampang dibuat, bisa langsung kenyang. Semua orang bisa bikin sesuatu dalam hitungan menit. Bayangin feed media sosial sekarang seperti tulisan, gambar, dan video yang kita lihat setiap hari sebagian besar mungkin udah disentuh atau bahkan dibuat full sama AI. Nggak perlu kursus bertahun-tahun atau punya skill spesial dulu.
Keren? Banget. Tapi masalahnya, kalau semua orang bikin konten dengan cara yang sama, hasilnya jadi kayak banjir—airnya banyak, tapi keruh.
Kadang kita nemu artikel yang keliatan rapi tapi isinya datar, atau gambar yang wow tapi pas diperhatiin ada jari tangan yang jumlahnya aneh. Ini bikin kita sebagai konsumen jadi harus punya “radar” lebih tajam buat milih mana yang layak dinikmati dan mana yang cuma “sampah digital”. Ada gambar super realistis yang bikin takjub, ada juga yang bikin ngakak karena aneh. Ada tulisan yang keliatan profesional tapi ternyata muter-muter tanpa isi. Di situlah workslop terjadi, hasil kerja yang serba cepat tapi belum tentu berkualitas.
Bahkan sebuah "karya" AI bisa merusak kondusifitas negara seperti yang beberapa waktu lalu terjadi di negara kita. Tepatnya ketika hasil olah digital AI menjadi fitnah bagi seorang menteri, yang kemudian menjadi salah satu poin penyulut demo besar-besaran, sampai berakibat jatuhnya korban jiwa dan mundurnya sang menteri.
Serem ? jelas....
Nah, pertanyaan pentingnya, workslop ini sebenernya masalah atau kesempatan?
Jawabannya : bisa dua-duanya. Kalau cuma jadi penonton, ya kita bakal kewalahan milih mana yang bener-bener bagus dan mana yang cuma sampah digital. Tapi kalau kita jadi pemain, justru ada peluang gede di sini.
AI itu cuma alat. Sama kayak gitar, pensil, atau kamera. Yang bikin hasilnya bernilai itu bukan alatnya, tapi siapa yang pakai. Kalau asal-asalan, ya hasilnya juga asal. Tapi kalau dipaduin sama kreativitas manusia, bisa jadi karya keren yang nggak kepikiran sebelumnya.
![]() |
#hanyaContohsaja |
Ini bagian yang paling menarik, AI udah jadi sumber penghasilan buat banyak orang. Nggak cuma buat perusahaan besar, tapi juga anak muda biasa yang kreatif. Contohnya :
-
Side hustle cepat : bikin artikel, desain logo, atau edit video buat klien. Dengan bantuan AI, waktu pengerjaan jadi lebih singkat, hasilnya tetap oke.
-
Konten kreator : bikin channel YouTube dengan AI voice, bikin podcast pakai suara sintetis, atau produksi konten harian tanpa harus repot. bahkan mengaransemen ulang lagu lama pake gaya kita (misal lagu pop mellow diubah jadi gothic rock bahkan reggeae)
-
Digital product : bikin e-book, template desain, atau bahkan kursus mini berbasis AI, terus dijual di marketplace.
-
Bisnis utama : ada juga yang full-time kerjaan utamanya pakai AI. Misalnya, jadi konsultan AI buat bisnis kecil, bikin aplikasi sederhana, atau jadi kreator yang rutin jual karya digital.
Inspiratif banget kan? Dulu butuh modal gede buat mulai bisnis kreatif, sekarang dengan laptop dan koneksi internet aja udah bisa jadi mesin uang.
Meski AI bisa bikin segalanya jadi cepat, ada satu hal yang belum bisa dia tiru dengan sempurna, rasa manusia. Storytelling, emosi, pengalaman pribadi, dan nilai-nilai unik itu cuma bisa lahir dari orang asli. Itulah kenapa karya yang bener-bener ngena biasanya tetap ada sentuhan manusianya.
Jadi kuncinya adalah jangan cuma ngandelin AI buat semua hal. Pakai dia sebagai alat bantu, tapi tetap kasih warna pribadi di setiap karya. Biar nggak tenggelam di lautan workslop, kita harus jadi navigatornya.
Kalau dipikir-pikir, workslop memang bikin dunia kerja kelihatan agak berantakan. Tapi justru di balik “kekacauan” ini ada peluang emas. Siapa pun bisa belajar, bikin karya, bahkan dapet penghasilan dari AI. Pertanyaannya tinggal: mau sekadar jadi penumpang di tengah banjir konten, atau jadi kapten kapal yang ngarahin ke jalannya sendiri?
AI udah ada di sini, nggak mungkin balik lagi. Tinggal kita yang milih ikut hanyut sama workslop, atau justru manfaatin buat bikin karya yang beda, punya nilai, dan bikin hidup lebih seru.
Contoh lain editan AI yang berbahaya, terutama buat saya. Tapi disclaimer dulu yaa..... semua foto sudah diutak atik pake bantuan GeminiAI. bisa dibuktikan adanya tanda air khas GeminiAI di pojok kiri bawah setiap foto.
Bendera One Piece Berkibar di Indonesia : Simbol Protes ala Bajak Laut Topi Jerami yang Bikin Baper Elite
Sudah lihat kan, kalau bendera Jolly Roger-nya Monkey D. Luffy dalam serial anime One Piece lagi marak dipakai masyarakat Indonesia dimana-mana ? Itu lho bendera bajak laut dengan topi jerami yang sedang meringis ......
Kok bisa ?
Jadi gini ......
Ceritanya dimulai pas Presiden Prabowo Subianto ngajak warga buat ngibarin bendera Merah Putih sepanjang Agustus 2025, biar semangat nasionalisme makin kenceng menjelang HUT RI ke-80. Eh, tapi apa yang terjadi? Alih-alih bendera Merah Putih doang, tiba-tiba bendera Jolly Roger-nya kru Topi Jerami dari One Piece muncul di mana-mana! Mulai dari rumah-rumah, tiang bendera, sampe truk ODOL yang biasa ngegas di jalanan. Bahkan, ada yang bikin stiker bendera ini buat mobil atau ganti foto profil WhatsApp sama IG pake logo tengkorak bertopi jerami itu. Keren, kan?
Fenomena ini mulai rame sejak 26 Juli 2025, pas netizen mulai ngepost foto-foto bendera One Piece di X, TikTok, sama Instagram. Dari Jakarta, Bandung, sampe Kendari dan Jogja, bendera ini kayak jadi trend baru. Malah, pas May Day Fiesta di Stadion Madya, Senayan, Mei 2024, bendera ini udah keliatan dikibarin sama buruh yang demo. Jadi, ini bukan cuma soal hype anime, tapi ada cerita lebih dalam di baliknya.
Makna di Balik Bendera: Bukan Cuma Soal Anime
Buat yang belum tahu, Jolly Roger di One Piece itu bendera bajak laut yang punya makna kebebasan, perlawanan, sama solidaritas. Bendera kru Topi Jerami, dengan tengkorak yang pake topi jerami khas Luffy, ngelambangin semangat ngejar mimpi, lawan ketidakadilan, dan anti sama kekuasaan yang nyiksa rakyat. Nah, di Indonesia, bendera ini kayak disulap jadi simbol protes rakyat yang lagi kesel sama kondisi sosial-politik.
Banyak warganet bilang, ngibarin bendera One Piece ini cara mereka nyanyi-nyanyi soal ketidakpuasan sama pemerintah. Mulai dari isu ketimpangan ekonomi, hukum yang kayak tebang pilih, sampe dugaan pelanggaran HAM yang bikin orang gerah. Misalnya, ada netizen di X yang nulis, “Bendera One Piece itu kayak teriakan : kami mau kebebasan kayak Luffy, bukan cuma janji manis!” Ada juga yang bilang ini sindiran buat penguasa yang dianggap korup, mirip kayak Pemerintah Dunia di One Piece yang dikasih label “penutup kebenaran.”
Yang bikin menarik, gerakan ini katanya organik banget. Gak ada dalang atau tokoh besar di belakangnya. Murni keresahan warga yang nyanyi lewat simbol budaya pop.
Bahkan banyak juga bilang gini, “Aku gak anti-Indonesia kok. Tapi pemerintah sekarang tuh rasanya jauh banget dari rakyat. Ngibarin bendera One Piece itu kayak ngingetin: kita mau keadilan, kayak Luffy yang selalu bela temennya.”
Reaksi ? banyak .....
Dari sisi hukum, ternyata ngibarin bendera One Piece ini legal, lho. Pakar hukum Abdul Fickar dari Universitas Trisakti bilang, gak ada UU yang ngelarang ngibarin bendera kayak gini. Cuma, kalo disandingin sama Merah Putih, bendera nasional harus lebih tinggi dan besar, biar gak dianggap ngelecehin simbol negara. Jadi, selama bendera ini gak dipake buat provokasi serius atau ngehina bendera RI, aman-aman aja.
Kalau saja Almarhum Gus Dur masih bisa berkomentar, mungkin beliau juga akan memberikan statement gini " ya mbok biarin saja, dilihat saja ada bendera Merah Putih nya nggak. Kalau ada dan posisinya lebih tinggi ya biarin saja. Anggap saja umbul umbul ...... yang penting jangan lebih tinggi dari bendera Merah Putih " (seperti komentar beliau pada masa itu mengenai sebuah bendera yang juga dikibarkan di ujung negeri sana)
Filosofi One Piece: Kenapa Cocok Jadi Simbol?
Buat yang ngefans sama One Piece, pasti tahu dong, cerita ciptaan Eiichiro Oda ini gak cuma soal petualangan bajak laut. Ada nilai-nilai kebebasan, persahabatan, sama perjuangan ngejar mimpi yang bikin ceritanya relate sama kehidupan nyata. Luffy, si kapten Topi Jerami, itu orang yang gak takut ngelawan Pemerintah Dunia yang korup, apalagi kalo temennya disakitin. Makanya, bendera Topi Jerami ini kayak nyanyi keras soal semangat anti-korupsi dan keadilan.
Di Indonesia, yang lagi panas sama isu-isu kayak revisi UU, kasus HAM, atau ketimpangan ekonomi, bendera ini kayak jadi “teriakan” rakyat kecil. Apalagi, One Piece udah lama banget populer di sini. Komiknya laku keras, animenya ditonton jutaan orang, dan merchandise-nya ada di mana-mana. Jadi, gak heran kalo simbol dari cerita ini dipake buat nyuarain aspirasi.
Bukan cuma di Indonesia, fenomena ini sampe dilupain media asing, lho. Screen Rant, media hiburan dari Kanada, nulis soal “kontroversi aneh” ini. Mereka bilang, bendera One Piece ini mungkin nyambung sama laporan Human Rights Watch soal dugaan pelanggaran HAM di Indonesia tahun 2023. Jadi, ini bukan cuma soal anime, tapi juga soal pesan sosial yang bikin dunia ngeliatin Indonesia.
So, apa sih inti dari fenomena bendera One Piece ini?
Ini bukan cuma soal ngefans sama Luffy atau pengen keren-kerenan. Ini soal rakyat yang lagi pengen nyanyi keras soal kekecewaan mereka, tapi dengan cara yang kreatif dan pake bahasa budaya pop. Bendera Jolly Roger ini kayak jadi pengingat bahwa rakyat Indonesia pengen kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang bener-bener pro rakyat, kayak semangat kru Topi Jerami.
Buat sebagian orang, mungkin ini cuma “ulah” penggemar anime. Tapi buat yang lain, ini simbol perlawanan yang santai tapi ngena. Yang jelas, fenomena ini nunjukin betapa kuatnya budaya pop bisa nyanyi soal isu serius. Jadi, kalo kamu liat bendera One Piece berkibar di deket rumah, jangan cuma bilang “wah, keren!” Tapi coba dengerin apa yang pengen disuarain sama yang ngibarin bendera itu. Siapa tahu, kamu juga pengen ikutan jadi “bajak laut” yang ngejar keadilan!
Menurutku sih aksi protes ini dilakukan mengingat situasi politik dan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Masyarakat berhak menggunakan simbol atau idiom budaya populer–seperti kasus bendera anime One Piece sebagai ekpresi kekecewaan.
Sayangnya ini menjadi memprihatinkan saat kita pejabat pejabat kita negara malah merespons dengan tindakan berlebihan, seperti mengerahkan aparat keamanan untuk ‘memberhangus’, menjatuhkan sanksi apalagi menghukum hingga menangkap, memenjara, dan sebagainya. Kan Lucu .....
Alangkah baiknya sebenarnya jika pemerintah seharusnya menjawab dengan narasi-narasi tandingan. Misalnya, memberikan penjelasan untuk mengatasi keresahan mereka atau melakukan aksi nyata. Itu saja sudah cukup, tidak perlu melakukan tindakan represif. Atau mengubah cara pandang seperti saran Gus Dur tadi.
Enak kan ?
Tapi ..... ya sudahlah, kita sebagai masyarakat bagaimanapun harus mendukung pemerintah yang semua keputusan, kebijakan maupun perilakunya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku #katanya ......
Makan Bergizi Gratis, perlu banget upgrade sistem ke kantin sekolah
Lagi browsing cari artikel tentang si Zhou Ye beberapa waktu lalu, ga sengaja lewat sebuah artikel yang cukup menarik perhatian namun cukup menggelitik juga di laman setneg.go.id. Disitu ditulis gini :
" Presiden Prabowo Subianto menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) yang terus menunjukkan perkembangan signifikan sejak diluncurkan secara bertahap pada Januari 2025.
Presiden menekankan bahwa skala dan kompleksitas logistik program ini sangat besar. Walaupun tingkat keberhasilan program MBG menurut Presiden mencapai angka 99 persen, tetapi ia mengingatkan kepada seluruh pihak agar tidak cepat puas. "
Pliss fokus pada kalimat kalimat yang bercetak tebal ya. Menggelitik kan ?
Oke mari kita bahas sedikit.
Program MBG alias Makan Bergizi Gratis yang sekarang lagi rame diperbincangkan sebenarnya punya niat yang super mulia. Siapa sih yang nggak seneng kalau anak-anak sekolah bisa makan gratis, bergizi, dan pastinya bikin semangat belajar lebih maksimal? Apalagi, masalah gizi buruk atau anak yang skip sarapan masih banyak banget di negeri ini. Jadi secara ide, MBG ini udah dapet “nilai plus” yang gede banget...... dari sisi niatnya. Sekali lagi niatnya......
Tapi kayak pepatah lama, “niat baik doang nggak cukup, eksekusinya juga harus bener.” Nah, di sinilah cerita plus minus MBG mulai muncul. Sebagai disclaimer, ini plus minus versiku selama mengamati dan melakukan analisis ala ala saja ya, so jangan di dramatisir kemana mana.
-
Bantu anak-anak yang kurang mampu.
Dengan adanya MBG, anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung dan anak anak yang berasal dari wilayah terpinggir di pelosok negeri ini jadi terbantu untuk mendapatkan makanan bergizi, yang biasanya cuma jajan seadanya. Jadi harapan untuk mereka lebih sehat, lebih fokus belajar, dan otomatis prestasi juga bisa naik. -
Mengurangi angka kelaparan terselubung.
Percaya atau nggak, masih banyak kok siswa yang ke sekolah dengan perut kosong. MBG bisa jadi solusi biar mereka nggak “ngorok di kelas” karena laper. -
Niat mulia dari pemerintah.
Program ini menunjukkan kalau negara peduli sama masa depan generasi muda. Soalnya, apa jadinya kalau otak anak-anak bangsa nggak dapat asupan nutrisi yang layak?
-
Teknis ribet dan rawan bocor anggaran.
Banyak cerita soal pembagian makanan yang kadang nggak tepat sasaran, bahkan ada isu “anggaran bocor”. Jadi niatnya bagus, tapi prakteknya kadang bikin miris. Mari kita buktikan dengan bertanya pada mereka mereka yang terlibat langsung di lapangan hehehe .... -
Kualitas makanan sering dipertanyakan.
Karena sistemnya tender ke pihak ketiga, sering muncul masalah kayak lauknya nggak segar, porsinya terlalu dikit, atau rasanya “meh”. Akhirnya anak-anak malah males makan. Belum lagi banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi hingga menimbulkan ratusan korban. -
Kurang memberdayakan lingkungan sekolah.
Nah ini point yang paling jleb. Kalau makanannya semua disuplai dari luar, tidak melibatkan unsur unsur yang ada di lingkungan sekolah. Disini sekolah jadi kayak “penonton” aja. Padahal sebenarnya sekolah bisa dilibatkan lebih banyak.
Banyak kok alasan kenapa ide itu muncul, dan bayangin kalau sistemnya gini, pemerintah tetap kasih dana, tapi eksekusinya lewat kantin sekolah masing-masing. Yang akan terjadi kira kira (mungkin) akan seperti ini :
-
Lebih transparan.
Guru, komite sekolah, dan orang tua bisa ikut ngawasin langsung. Nggak perlu lewat pihak ketiga yang jauh dan ribet, dan tentu saja gak mungkin ga mencari keuntungan. -
Menu lebih sesuai selera anak dan terjaga kualitasnya.
Kantin sekolah kan tiap hari ketemu anak-anak. Mereka tahu banget, anak lebih suka tempe orek daripada sup yang hambar, anak di sekolah terkait lebih suka jeruk dari pada salak, dan lain sebagainya sehingga kemungkinan makanan terbuang juga lebih kecil.
Selain itu karena jumlah masakan lebih sedikit, peluang untuk menjadi basi juga tidak ada dan kualitasnya selalu terjaga. -
Memberdayakan lingkungan sekitar sekolah
Sekedar informasi, sebelum program MBG ini diberlakukan sebenarnya sudah banyak sekolah (terutama sekolah dasar) yang punya program Kantin Sehat dan Dapur Sehat Sekolah. Dua program ini sebenarnya sangat pas sebagai partner MBG. Bagaimana tidak ? Kantin Sehat dan Dapur Sehat Sekolah ini tentu saja bekerjasama dengan warung atau UMKM di sekitar sekolah, secara otomatis roda perekonomian juga ikut berputar. -
Distribusi makanan lebih praktis dan cepat, BGN berfungsi pengawasan.
Nggak perlu lagi drama makanan telat datang karena macet di jalan atau masalah distribusi. Kantin tinggal masak di tempat, selesai! Sementara itu anggota Badan Gizi Nasional di daerah melakukan tugasnya dalam fungsi pengawasan, tidak sampai ekseskusi. Nah ....
Intinya, MBG itu niatnya udah oke banget. Tapi biar nggak cuma jadi program keren di atas kertas, sistemnya harus dievaluasi lagi, dibuat lebih dekat dengan kebutuhan nyata anak-anak. Dan seandainya nanti dilimpahkan ke kantin/dapur sekolah, program ini bisa lebih transparan, efektif, dan tentu aja lebih menyenangkan buat siswa, selain juga menggerakkan roda ekonomi kantin/dapur sekolah yang bersangkutan.
Jadi, kepada para pemimpin negeri ini dan dengan tidak mengurangi rasa hormat, coba pikir ulang kalimat ini :
MBG lewat kantin sekolah, why not ?
Dawet Ayu Banjarnegara, minuman khas yang jadi Warisan Budaya Tak benda Indonesia
Kakang kakang pada plesir (maring endi yayi)
Tuku dawet, dawete banjarnegara
Seger adem legi (apa iya)
Dawet ayu, dawete banjarnegara
Begitu sepenggal bait dari lagu berjudul “Dawet Ayu Banjarnegara” yang konon diciptakan seniman Banjarnegara bernama Bono (dan disebut-sebut sebagai asal sejarah nama dawet ayu) untuk kemudian dipopulerkan kembali oleh Grup Seni Calung dan Lawak Banyumas Peang Penjol yang terkenal di Karesidenan Banyumas pada era 1970-1980-an.
Wajar kalau nama Dawet Ayu kemudian di identikkan dengan Banjarnegara karena dalam lirik lagu ini memang disebutkan beberapa kali kata 'Dawet Banjarnegara'. Dalam liriknya lagu ini berkisah tentang percakapan sederhana antara adik dan kakak soal rencana pergi bepergian piknik kemana saja yang penting jangan lupa membeli dawet banjarnegara yang segar, dingin dan manis. Begitu ......
Dalam masyarakat Banjarnegara sendiri, asal muasal penamaan Dawet Ayu memang ada beberapa versi. Selain versi tersebut, ada pula versi Ahmad Tohari (dan setelah melalui penelusuran yang intensif ternyata versi Tohari ini mirip dengan keterangan tokoh masyarakat Banyumas, Kiai Haji Khatibul Umam Wiranu) yang mengatakan bahwa berdasarkan cerita tutur turun temurun, ada sebuah keluarga yang berjualan dawet sejak awal abad ke-20. Generasi ketiga penjual es dawet ini terkenal dengan parasnya yang cantik. Dari sini mulailah orang menyebutnya sebagai es dawete wong ayu yang artinya es dawet racikan wanita cantik.
Ada juga cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Banjarnegara bahwa popularitas dawet Banjarnegara ini adalah berkat jasa dan dorongan mantan Presiden Soeharto saat meresmikan instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mrica pada 1989. Disebutkan saat itu Presiden Soeharto disuguhi minuman khas Banjarnegara yakni dawet oleh ibu ibu cantik, dan kemudian Pak Harto bilang minuman ini seterusnya disebut saja dawet ayu agar semakin terkenal ke seluruh Indonesia.
Pak Harto juga menganjurkan supaya hiasan ukiran sosok Semar dan Gareng terpampang di angkringan dawet ayu. Semar Gareng atau disingkat mareng dalam bahasa Jawa artinya, musim kemarau.
“Jadi simbolnya nanti berupa Mareng, Semar dan Gareng yang menjadi penanda ajakan untuk menghilangkan rasa dahaga (kering, mareng atau kemarau) dengan meminum dawet ayu" begitu dikisahkan.
Btw, lupakan soal nama...... ingatlah soal rasa ...... halah ......
Dawet Ayu sendiri sebenarnya merupakan minuman yang unik. Keunikan es dawet ayu Banjarnegara terletak pada cita rasanya yang khas. Santan kelapa yang digunakan beraroma gurih dan tidak amis. Gula arennya juga berkualitas tinggi, memberikan rasa manis yang legit tanpa rasa pahit. Selain itu, dawetnya terbuat dari tepung beras yang diolah secara tradisional, sehingga menghasilkan tekstur yang kenyal dan lembut.
Selain cita rasanya, es dawet ayu Banjarnegara juga memiliki penampilan yang cantik. Warna hijau dari dawet dan putih dari santan berpadu harmonis, menciptakan tampilan yang menggoda. Ditambah es serut yang dingin dan serutan gula aren, es dawet ayu Banjarnegara menjadi sajian yang memanjakan mata dan lidah.
Menggoda ?
Pasti dong.......
Pengakuan terhadap Dawet Ayu Banjarnegara juga nggak main main lho. Dawet Ayu Banjarnegara ditetapkan sebagai ‘Minuman Tradisional Terpopuler’ dan meraih Juara 1 pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 sekaligus sebagai minuman terfavorit pilihan masyarakat Indonesia pada ajang yang sama pada tahun 2021.
Pada tahun ini Dawet Ayu Banjarnegara telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda Indonesia tahun 2024. Sertifikat penetapan tersebut diserahterimakan oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara dalam kegiatan Apresiasi Warisan Budaya Indonesia (AWBI) Tahun 2024 pada hari Sabtu (16/11).
Keren kan ?
Pengakuan terhadap Dawet Ayu Banjarnegara diharapkan kemudian menjadi kebanggaan dan sebuah komitmen bagi masyarakat Banjarnegara untuk terus berupaya melestarikan minuman khasnya tersebut. Selain itu juga dapat mendorong masyarakat untuk lebih mencintai, menjaga, dan mengembangkan budaya lokal di tengah tantangan modernisasi untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
So, kita sebagai generasi terkini siap untuk mengemban tugas itu ?
Harus lah ....
karena kalau bukan kita, siapa lagi ??