Posted by : ngatmow 4.01.2018

Mata saya masih "mbendul" dan merah ketika seseorang menyapa dengan suara sengau khasnya
" welah..... ada orang banjarnegara sampai di sini juga ...... dirimu nginep apa om ? "
" eh om senior...... nggak om, aku baru aja dateng.dari rumah tadi jam 3an kok " jawabku setengah kaget.
" weh jam tiga ? gasik men ...... "

Yes, itu sekelumit perbincangan saya dengan seorang senior motret dari Yogyakarta yang tidak mau disebut namanya hahahaha........ Lha terus pertanyaannya, ngapain saya pagi uput uput macam itu otewe dari Banjarnegara ke Parakan Temanggung ?
Piknik dong pemirsa..... piknik spiritual demi bisa makan pisang sepuasnya sambil motret Rejeban Plabengan. Yaitu sebuah acara budaya yang digelar di Dewi Cepag atau Desa Wisata Cepit Pagergunung Kecamatan Bulu Temanggung. Sekitar 5,2 kilo meter dari arah RSK Ngesti Waluyo Parakan naik menuju punggung Gunung Sumbing.


Dusun Cepit Desa Pagergunung ini berada tepat di sebelah Timur agak ke Utara sedikit di kaki Gunung Sumbing, dimana puncak gunungnya sebenernya sudah tepat didepan mata. Bagi saya, desa ini sebenarnya sangat cocok bagi para landscaper karena pemandangan yang terpampang di semua sudut desa ini adalah keelokan yang tak terkatakan ......... suwer.........
selain itu keramah tamahan Penduduk, puncak gunung Ungaran di kejauhan dengan matahari yang muncul berwarna kemerahan di puncaknya, kearifan lokal penduduknya serta aroma lintingan klembak menyan yang harum menyengat, juga menambah eksotisme suasana di Dusun berpenduduk kurang lebih 250 KK ini........ istimewa pokoknya .....

Menurut cerita masyarakat, Plabengan merupakan sebuah petilasan yang konon dahulunya merupakan tempat berkumpul Ki Ageng Makukuhan (beliau adalah Tokoh Penyebar Agama Islam yang dipercaya sebagai penerus Wali Songo) bersama para muridnya yaitu Ki Ageng Tunggul Wulung, Ki Ageng Gandung Melati, Ki Ageng Paniti Kudo Negoro dan Syeh Dami Aking, untuk melakukan musyawarah sambil menyebarkan agama Islam. Nah untuk memperingati dan meneruskan tradisi itu, maka setiap hari Jumat Wage pada bulan Rejeb (Penanggalan jawa) masyarakat Desa Pagergunung melakukan tradisi unik Nyadran.

Sebagai info nih sodara sodara, Nyadran disini  merupakan prosesi mengunjungi Punden Plabengan dan Makam Leluhur yang ada disana untuk berdoa agar keberkahan selalu menyertai seluruh warga Desa Pagergunung. Prosesi ini pun tidak sembarangan dan berbeda dengan di tempat lain lho. Prosesi Rejeban Plabengan ini diawali dengan Ritual Doa Malam Jumat di Punden Plabengan yang diikuti para kaum lelaki warga desa dengan penerangan ratusan obor di sepanjang jalan menuju punden, acara sakral ini dipimpin oleh sesepuh dan pemangku adat desa dalam balutan pakaian jawa yang berupa beskap dan bangkon.

Paginya, seluruh warga berjalan kaki sejauh hampir 2 kilometer dari dusun Cepit naik menuju ke arah puncak gunung Sumbing dengan membawa bekal makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Bekal tersebut  berupa dua sisir pisang atau lebih, ketan dan jenang, ingkung ayam serta aneka lauk pauk yang dibawa dalam dua tenong (wadah makanan berbentuk bundar yang terbuat dari anyaman bambu) dan dipikul oleh kaum laki laki dusun Cepit Desa Pagergunung. Selain itu warga masyarakat juga mempersiapkan beberapa buah gunungan yang berupa makanan pokok lengkap dengan lauk pauknya.

Setelah semua tenong dan gunungan ini masuk ke lokasi Punden Plabengan, semuanya ditata membentuk barisan memanjang dengan dikelilingi oleh masyarakat yang duduk di sebelah kanan dan kirinya. Beberapa saat kemudian sesepuh desa mengkomando masyarakat untuk melantunkan ayat ayat suci Al Quran, dan lokasipun menjadi penuh khikmad....... tenang ...... dan syahdu .......
Sekitar  20 menit kemudian, sesepuh desa dan Kepala Desa Pagergunung mulai memberikan wejangan, petuah bijak serta harapan harapan di depan semua yang hadir di lokasi itu, dilanjutkan dengan melakukan jamasan terhadap anak anak yang berambut gimbal dengan menggunakan air dari mata air yang ada di sebelah punden tersebut.

Para tukang foto pun ambyar ......... berebut maju ke depan ....... baik yang pemula seperti saya maupun sudah pro seperti om om yang suka pake hal hal berwarna merah brewokan yang tidak mau disebutkan namanya, berebut mencari posisi terbaik untuk mengabadikan momen di lokasi yang super sempit itu.

Selanjutnya adalah acara yang paling ditunggu tunggu sodara sodara..... pranoto coro memberikan komando kepada kami untuk merapat ke gunungan tumpeng utama yang ada di sebelah gazebo. Untuk apa ? makan tentu saja .....
Belum sampai komando selesai disampaikan, sedetik kemudian kondisi lokasi tersebut menjadi krodit dengan banyaknya manusia yang berebut makanan yang disediakan. Tumpah ruah manusia dengan berbagai rasa dan aroma hehehehe.........
Lha saya ? berhubung saya cerdas, makanya saya justru menepi dan mencari tenong di pinggir lokasi yang relatif sepi dan tanpa rebutan demi bisa makan pisang dengan aman, nyaman tertib dan kenyang hehehee......

Oya, sambil makan kami disuguhi 8 kesenian tradisional yang tampil bergantian, mulai dari emblek (tari kuda kepang), tari angguk, tari butho galak, dan sebagainya. Epik, eksotis dan gaib......... begitu yang saya rasakan. Ada perasaan takut terbersit mengingat bahwa biasanya acara macam ini akan membawa banyak kejadian mistis
Dan benar saja, belum sampai 1 jam kesenian itu berlangsung tiba tiba banyak warga yang kesurupan. Tidak hanya kaum laki laki, tapi juga kaum hawa yang berada di sekitar lokasi ituk kesambet juga. Seru ......

Karena sudah terlalu banyak yang kesurupan, akhirnya sesepuh desa memerintahkan kami semua beserta masyarakat yang masih sadar untuk turun gunung kembali ke desa. Sayang memang karena acara belum selesai sudah dibubarkan seperti itu, namun demi keamanan dan keselamatan ya mau tidak mau kami harus menurutinya kan ?

Sesampainya di desa, kami berkumpul di kediaman Pak Kades untuk sekedar melepas lelah dan menikmati jamuan yang ternyata sudah disediakan. Disitu kami diajak untuk bertukar pikiran, memberikan masukan dan koreksi terkait penyelenggaraan kegiatan oleh pak kades dan ketua pokdarwis setempat. Sebuah kegiatan yang sangat jarang dilakukan oleh panitia panitia kegiatan budaya dimanapun yang pernah saya kunjungi ......... #salut

Ada satu kalimat yang dilontarkan sahabat saya @Yoga_YoGreat tentang kegiatan budaya kali ini :
" ........20% motret, 20% ketemu sedulur, 60% panen gedhang !!!! ......."

Apa panen gedhang ?
yes.....betul sodara sodara, sebab kalau setiap orang membawa 2 sisir pisang, maka jika dikalikan 250 KK akan ketemu 500 sisir pisang ! dan banyak diantaranya yang tidak hanya membawa 2 tapi juga 3, 4 bahkan lebih dari 5 sisir !! 

puassss........

Photo by @Yoga_YoGreat

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow