- Back to Home »
- Culture Festival , explore Banjarnegara »
- DCF XV 2025, Sederhana dan Full Budaya
Ada yang berbeda dari
penyelenggaraan Dieng Culture Festival ke XV tahun 2025 ini. Kali ini panggung
yang dibangun panitia tidak se "nyeni" tahun tahun sebelumnya, malah
lebih seperti panggung konser biasa. Tapi itulah menariknya DCF tahun ini.
Jujur, setelah sempat
"puasa" dan simpang siur kabar karena proyek penataan kawasan di
tahun sebelumnya, kembalinya DCF di Agustus 2025 kemarin itu rasanya kayak
ketemu mantan yang udah glow up. Ada rasa kangen, ada rasa penasaran,
tapi pas ketemu... ada juga rasa "lho, kok kamu berubah?".
Begini ceritanya ...
Masih mengusung
tema "Back to The Culture" seperti tahun sebelumnya,
DCF ke-15 yang digelar pada 23-24 Agustus 2025 lalu benar-benar mengajak kita
kembali ke akarnya. Lokasinya masih sama, di Dataran Tinggi Dieng, Desa
Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Hanya saja kali ini ada 4 venue yang
sama sama dilabeli "utama". Yaitu Venue Pandawa, Venue
Gatotkaca, Venue Arjuna dan Venue Komplek Candi Arjuna.
Kedengarannya berat dan
serius ya? Tapi kenyataannya, tema ini bener-bener ngubah wajah DCF yang selama
ini kita kenal.
Menurut mas mas panitia yang sempat ngobrol, hal ini
dimaksudkan agar terjadi pemerataan hiburan dan bisa mengakomodir banyaknya
kesenian yang ditampilkan pada momen itu. Sebut saja tari Ndolalak, Tari
Lengger Patak Banteng, Keroncong, Kubro Siswo, dan Kethoprak Conthong, juga
Tari Rampak Yakso, Reog Bimolukar, Kesenian Jepin, dan lain sebagainya yang
tampil menghibur masyarakat Dieng dan pengunjung tanpa harus memikirkan untuk
membeli tiket.
By the way, berikut sedikit pendapatku (dari sudut pandang pribadi tentunya) tentang hal hal yang ada di seputaran Dieng Culture Festival XV tahun 2025 yang lalu :
YANG BIKIN JATUH CINTA
(PLUSNYA)
1. Wajah Baru Dieng yang Lebih "Glowing"
Harus diakui, absennya
DCF di tahun sebelumnya demi proyek penataan kawasan itu worth it. Wajah
kawasan Candi Arjuna sekarang jauh lebih rapi. Trotoar lebih manusiawi buat
pejalan kaki (meskipun tetep aja penuh sesak pas acara), dan penataan venue
terasa lebih terkonsep. Nggak ada lagi tuh kesan kumuh yang terlalu parah di
area utama.
2. "Symphony Dieng" yang Bikin Merinding
Oke, ini poin yang tricky.
Banyak yang sedih karena format musiknya berubah (nanti kita bahas di poin
minus), tapi harus diakui, konsep Symphony Dieng kemarin itu magis
banget. Mendengar alunan lagu dari Nugie, Tiara Andini, Monita Tahalea dan orkestra
dari Gamelan Orkestra Prawiratama dari Yogyakarta di tengah suhu 5 derajat
celcius, dibalut kabut tipis, itu rasanya... ethereal. Mewah!
Aransemen musik yang
megah, lighting yang cetar membahana berpadu sama mistisnya suasana dataran tinggi bikin bulu kuduk berdiri
(bukan cuma karena dingin, ya!). Ini ngasih experience baru yang lebih
"mahal" dan kontemplatif dibanding sekadar loncat-loncat nonton
konser biasa.
3. Ritual Rambut Gimbal yang Lebih Sakral
Sesuai temanya, "Back to The
Culture", prosesi pencukuran rambut gimbal tahun ini terasa lebih khidmat.
Panitia sepertinya bener-bener mau balikin "roh" acara ini ke
akarnya. Kalau tahun-tahun sebelumnya ritual ini kadang "ketutup"
sama hingar-bingar panggung musik, kemarin sorotannya bener-bener penuh ke
adik-adik rambut gimbal.
Melihat prosesi jamasan
sampai pelarungan, rasanya kita jadi diingetin lagi kalau DCF itu bukan cuma
soal hura-hura, tapi soal doa dan tradisi leluhur yang harus dijaga. Respect!
4. Pesta Lampion yang Nggak Pernah Gagal
Mau dikata cliché, mau dibilang mainstream,
momen pelepasan lampion itu tetap jadi juara. Titik. Ribuan cahaya kuning naik
pelan-pelan ke langit gelap, diiringi musik syahdu (dan ribuan story
Instagram yang di-upload bersamaan), itu tetap momen terbaik buat healing.
Romantisnya dapet, harunya dapet. Biarpun tangan beku megangin lampion, hati
rasanya anget banget.
YANG BIKIN GARUK KEPALA (MINUSNYA)
1. Tata panggung yang kok gitu ?
DCF tuh selalu identic dengan tata
panggung yang wah. Beberapa tahun terakhir panggung utama di setting sedemikian
rupa megah, nyeni dan ga pernah gagal membuat takjub, lengkap dengan setting
lampu, audio sampai asap buatannya, memanjakan tukang foto seperti kita kita.
Tahun ini, panggung
yang dibuat terkesan biasa saja dan (sori) kayak panggung dangdutan. Ga ada arsitektur
nyeninya. Dalam pikiran baikku ini mungkin karena mengusung konsep sederhana
itu tadi.
Tapi, bukankah nyeni juga
bisa dalam bentuk yang sederhana ?
Ah sudahlah ……
2. Durasi yang "Diskon" (Cuma 2 Hari !)
Biasanya kita
dimanjain sama acara 3 hari (Jumat-Minggu), tapi DCF 2025 kemarin dipadetin
jadi cuma 2 hari (Sabtu-Minggu). Efeknya? Rushed banget! Jadwal jadi
super padat. Baru nafas dikit abis nonton kirab, udah harus lari ngejar open
gate panggung musik.
Rasanya jadi kurang
puas buat explore objek wisata lain di sekitar Dieng. Mau ke Sikunir
ngejar sunrise jadi ragu karena takut telat balik buat acara inti.
Padahal kita udah jauh-jauh ke sana, pengennya sih slow living, eh malah
jadi rushing hour.
3. Ke Mana Perginya "Jazz Atas Awan"?
Ini nih yang jadi perdebatan panas
di tongkrongan traveler. Tahun 2025 ini, branding ikonik
"Jazz Atas Awan" yang santai, jazzy, dan membumi itu rasanya
agak "hilang" atau berubah drastis jadi format orkestra/simfoni tadi.
Buat penikmat lama DCF,
ada rasa kehilangan. Kita kangen duduk lesehan di rumput kering, dengerin
musisi jazz indie atau pop populer yang bikin kita nyanyi bareng santai
sambil nyeruput purwaceng. Format baru kemarin memang keren, tapi rasanya jadi
agak terlalu "formal" dan kaku. Kurang chill gitu lho, Genks.
Banyak yang bilang, "DCF tanpa Jazz Atas Awan itu kayak makan mie ongklok
tanpa sate sapi, enak tapi ada yang kurang.".
4. Masalah Sampah (Lagi dan Lagi)
Katanya "Back to Culture", yang harusnya
juga berarti mencintai alam. Tapi sedih banget pas bubaran acara lampion atau
konser, sampah plastik bekas jas hujan sekali pakai dan botol minum masih
berserakan.
Meskipun panitia udah
teriak-teriak soal "Aksi Dieng Bersih" dan nyediain tong sampah,
kesadaran kita sebagai pengunjung kayaknya masih perlu "direvolusi".
Malu dong sama lampionnya yang udah terbang cantik, masa ninggalin jejak kotor
di bawahnya?
SO, APAKAH DCF BERIKUTNYA MASIH LAYAK DITUNGGU?
Absolutely, YES.
Meskipun ada beberapa
perubahan format di tahun 2025 yang bikin kaget (terutama soal musik dan
durasi), Dieng Culture Festival tetap punya magisnya sendiri. Atmosfer
"Negeri di Atas Awan" itu nggak bisa diduplikasi di tempat lain.
Dinginnya, kabutnya, keramahan warga lokalnya, dan kentang goreng Dieng-nya
(ini penting!) selalu bikin rindu.
DCF 2025 mungkin adalah
masa transisi. Panitia dan warga lokal lagi nyari format terbaik buat
nyeimbangin antara pariwisata massal dan pelestarian budaya yang sakral.
Buat kamu yang kemarin
belum sempat ke sana, nabung deh buat tahun depan. Siapin fisik, siapin mental
buat macet, dan yang paling penting: turunkan ekspektasi soal konser hura-hura,
tapi naikkan ekspektasi buat pengalaman budaya yang menyentuh jiwa.
Sampai ketemu di Dieng
(semoga) tahun depan, dengan jaket yang lebih tebal dan hati yang lebih siap
jatuh cinta lagi!
Salam dari ketinggian
2.093 mdpl.







