Posted by : ngatmow 8.30.2025

Ada yang berbeda dari penyelenggaraan Dieng Culture Festival ke XV tahun 2025 ini. Kali ini panggung yang dibangun panitia tidak se "nyeni" tahun tahun sebelumnya, malah lebih seperti panggung konser biasa. Tapi itulah menariknya DCF tahun ini.

 

Jujur, setelah sempat "puasa" dan simpang siur kabar karena proyek penataan kawasan di tahun sebelumnya, kembalinya DCF di Agustus 2025 kemarin itu rasanya kayak ketemu mantan yang udah glow up. Ada rasa kangen, ada rasa penasaran, tapi pas ketemu... ada juga rasa "lho, kok kamu berubah?".

 

Begini ceritanya ...

 

Masih mengusung tema "Back to The Culture" seperti tahun sebelumnya, DCF ke-15 yang digelar pada 23-24 Agustus 2025 lalu benar-benar mengajak kita kembali ke akarnya. Lokasinya masih sama, di Dataran Tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Hanya saja kali ini ada 4 venue yang sama sama dilabeli "utama". Yaitu Venue Pandawa, Venue Gatotkaca, Venue Arjuna dan Venue Komplek Candi Arjuna.  

 

Kedengarannya berat dan serius ya? Tapi kenyataannya, tema ini bener-bener ngubah wajah DCF yang selama ini kita kenal.

 

Menurut mas mas panitia yang sempat ngobrol, hal ini dimaksudkan agar terjadi pemerataan hiburan dan bisa mengakomodir banyaknya kesenian yang ditampilkan pada momen itu. Sebut saja tari Ndolalak,  Tari Lengger Patak Banteng, Keroncong, Kubro Siswo, dan Kethoprak Conthong, juga Tari Rampak Yakso, Reog Bimolukar, Kesenian Jepin, dan lain sebagainya yang tampil menghibur masyarakat Dieng dan pengunjung tanpa harus memikirkan untuk membeli tiket. 




By the way, berikut sedikit pendapatku (dari sudut pandang pribadi tentunya)  tentang hal hal yang ada di seputaran Dieng Culture Festival XV tahun 2025 yang lalu :


YANG BIKIN JATUH CINTA (PLUSNYA)

1. Wajah Baru Dieng yang Lebih "Glowing" 

Harus diakui, absennya DCF di tahun sebelumnya demi proyek penataan kawasan itu worth it. Wajah kawasan Candi Arjuna sekarang jauh lebih rapi. Trotoar lebih manusiawi buat pejalan kaki (meskipun tetep aja penuh sesak pas acara), dan penataan venue terasa lebih terkonsep. Nggak ada lagi tuh kesan kumuh yang terlalu parah di area utama.



2. "Symphony Dieng" yang Bikin Merinding 

Oke, ini poin yang tricky. Banyak yang sedih karena format musiknya berubah (nanti kita bahas di poin minus), tapi harus diakui, konsep Symphony Dieng kemarin itu magis banget. Mendengar alunan lagu dari Nugie, Tiara Andini, Monita Tahalea dan orkestra dari Gamelan Orkestra Prawiratama dari Yogyakarta di tengah suhu 5 derajat celcius, dibalut kabut tipis, itu rasanya... ethereal. Mewah!

Aransemen musik yang megah, lighting yang cetar membahana berpadu sama mistisnya suasana dataran tinggi bikin bulu kuduk berdiri (bukan cuma karena dingin, ya!). Ini ngasih experience baru yang lebih "mahal" dan kontemplatif dibanding sekadar loncat-loncat nonton konser biasa.






3. Ritual Rambut Gimbal yang Lebih Sakral 

Sesuai temanya, "Back to The Culture", prosesi pencukuran rambut gimbal tahun ini terasa lebih khidmat. Panitia sepertinya bener-bener mau balikin "roh" acara ini ke akarnya. Kalau tahun-tahun sebelumnya ritual ini kadang "ketutup" sama hingar-bingar panggung musik, kemarin sorotannya bener-bener penuh ke adik-adik rambut gimbal.

Melihat prosesi jamasan sampai pelarungan, rasanya kita jadi diingetin lagi kalau DCF itu bukan cuma soal hura-hura, tapi soal doa dan tradisi leluhur yang harus dijaga. Respect!



4. Pesta Lampion yang Nggak Pernah Gagal 

Mau dikata cliché, mau dibilang mainstream, momen pelepasan lampion itu tetap jadi juara. Titik. Ribuan cahaya kuning naik pelan-pelan ke langit gelap, diiringi musik syahdu (dan ribuan story Instagram yang di-upload bersamaan), itu tetap momen terbaik buat healing. Romantisnya dapet, harunya dapet. Biarpun tangan beku megangin lampion, hati rasanya anget banget.


YANG BIKIN GARUK KEPALA (MINUSNYA)

1. Tata panggung yang kok gitu ? 

DCF tuh selalu identic dengan tata panggung yang wah. Beberapa tahun terakhir panggung utama di setting sedemikian rupa megah, nyeni dan ga pernah gagal membuat takjub, lengkap dengan setting lampu, audio sampai asap buatannya, memanjakan tukang foto seperti kita kita.

Tahun ini, panggung yang dibuat terkesan biasa saja dan (sori) kayak panggung dangdutan. Ga ada arsitektur nyeninya. Dalam pikiran baikku ini mungkin karena mengusung konsep sederhana itu tadi.

Tapi, bukankah nyeni juga bisa dalam bentuk yang sederhana ?

Ah sudahlah ……

 

2. Durasi yang "Diskon" (Cuma 2 Hari !) 

Biasanya kita dimanjain sama acara 3 hari (Jumat-Minggu), tapi DCF 2025 kemarin dipadetin jadi cuma 2 hari (Sabtu-Minggu). Efeknya? Rushed banget! Jadwal jadi super padat. Baru nafas dikit abis nonton kirab, udah harus lari ngejar open gate panggung musik.

Rasanya jadi kurang puas buat explore objek wisata lain di sekitar Dieng. Mau ke Sikunir ngejar sunrise jadi ragu karena takut telat balik buat acara inti. Padahal kita udah jauh-jauh ke sana, pengennya sih slow living, eh malah jadi rushing hour.


3. Ke Mana Perginya "Jazz Atas Awan"? 

Ini nih yang jadi perdebatan panas di tongkrongan traveler. Tahun 2025 ini, branding ikonik "Jazz Atas Awan" yang santai, jazzy, dan membumi itu rasanya agak "hilang" atau berubah drastis jadi format orkestra/simfoni tadi.

Buat penikmat lama DCF, ada rasa kehilangan. Kita kangen duduk lesehan di rumput kering, dengerin musisi jazz indie atau pop populer yang bikin kita nyanyi bareng santai sambil nyeruput purwaceng. Format baru kemarin memang keren, tapi rasanya jadi agak terlalu "formal" dan kaku. Kurang chill gitu lho, Genks. Banyak yang bilang, "DCF tanpa Jazz Atas Awan itu kayak makan mie ongklok tanpa sate sapi, enak tapi ada yang kurang.".


4. Masalah Sampah (Lagi dan Lagi) 

Katanya "Back to Culture", yang harusnya juga berarti mencintai alam. Tapi sedih banget pas bubaran acara lampion atau konser, sampah plastik bekas jas hujan sekali pakai dan botol minum masih berserakan.

Meskipun panitia udah teriak-teriak soal "Aksi Dieng Bersih" dan nyediain tong sampah, kesadaran kita sebagai pengunjung kayaknya masih perlu "direvolusi". Malu dong sama lampionnya yang udah terbang cantik, masa ninggalin jejak kotor di bawahnya?



SO, APAKAH DCF BERIKUTNYA MASIH LAYAK DITUNGGU?

Absolutely, YES.


Meskipun ada beberapa perubahan format di tahun 2025 yang bikin kaget (terutama soal musik dan durasi), Dieng Culture Festival tetap punya magisnya sendiri. Atmosfer "Negeri di Atas Awan" itu nggak bisa diduplikasi di tempat lain. Dinginnya, kabutnya, keramahan warga lokalnya, dan kentang goreng Dieng-nya (ini penting!) selalu bikin rindu.


DCF 2025 mungkin adalah masa transisi. Panitia dan warga lokal lagi nyari format terbaik buat nyeimbangin antara pariwisata massal dan pelestarian budaya yang sakral.


Buat kamu yang kemarin belum sempat ke sana, nabung deh buat tahun depan. Siapin fisik, siapin mental buat macet, dan yang paling penting: turunkan ekspektasi soal konser hura-hura, tapi naikkan ekspektasi buat pengalaman budaya yang menyentuh jiwa.

Sampai ketemu di Dieng (semoga) tahun depan, dengan jaket yang lebih tebal dan hati yang lebih siap jatuh cinta lagi!

Salam dari ketinggian 2.093 mdpl.



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow