Posted by : ngatmow 6.01.2020

Sudah sejak lama Timur Tengah menjadi sasaran subjek yang menarik untuk diceritakan, banyak syair–syair maupun lukisan–lukisan tentang kawasan tersebut lahir dari seniman Barat. Semenjak munculnya media perfilman di kalangan Amerika dan Eropa, Timur Tengah semakin terekspos dan eksotisme daerah itu tersebar ke seluruh dunia. Pada bagian ini peneliti merasa penting untuk menyajikan beberapa contoh film-film yang mengandung unsur orientalisme. 

Di wilayah Timur Tengah kita bisa dapatkan Film Aladdin (1992), sebuah film kartun produksi Disney Film yang mengkisahkan percintaan antara pemuda miskin (Aladdin) dengan putri raja (Jasmine). Penggambaran Timur Tengah sebagai daerah yang irrasional terlihat manakala perjuangan Aladdin dalam mendapatkan cinta Jasmine dibantu dengan sosok jin. Pengenalan singkat tentang Timur Tengah digambarkan dengan pemandangan gurun, unta–unta dan penyembur api yang menghibur beberapa orang di pinggir jalan serta pertunjukkan ular kobra yang menari dengan seruling. Sementara keadaan sosial di daerah ini digambarkan sebagai kekerasan dan konflik adalah hal yang biasa. Pedang merupakan simbol yang melekat dengan Timur Tengah. Sosok yang kejam ditampilkan dengan orang kulit berwarna, mental pedagang Arab yang serakah dan penguasa/raja/sultan diwakilkan dengan sosok yang gendut, kekanak-kanakan, dan naif.

Bahkan boleh dipercaya atau tidak, Karya sinematografi barat tentang seorang tokoh di Timur Tengah selalu merupakan tafsiran alias pemahaman tanpa kajian mendalam saja. Sebab terkadang ceritanya tak melulu sealur dengan buku-buku yang dianggap otoritatif tentang tokoh tersebut. Sebagai contoh adalah gambaran tentang seorang ilmuwan muslim abad 11, Ibnu Sina (Avicenna),  dalam film The Physician ( produksi tahun 2013), yang setidaknya merefleksikan tafsir atas kehidupan sang tabib dari Isfahan, serta konteks dimana ia hidup. Dan yang pasti, banyak sekuel yang memang menunjukkan tidak akuratnya sejarah dalam film semi historic ini.

Film The Physician merupakan film berjenis petualangan/drama/sejarah yang dirilis pada 25 Desember 2013. Film ini berasal dari Jerman yang diadaptasi dari novel bestseller karya Noah Gordon dengan judul Der Medicus (1999). Situs betafilm mencatat bahwa novel tersebut laku hingga 21 juta kopi diseluruh dunia (The Physician, n.d.). Novel tersebut berhasil menarik minat masyarakat Eropa dan selalu habis terjual terutama di Jerman dan Spanyol dan dinominasikan sebagai "Ten Most Loved Books of All Time" dalam Madrid Book Fair (Noah Gordon awards and honors, n.d.)

Disutradarai oleh Philipp Stölzl, seorang berkebangsaan Jerman. Film berbahasa Inggris yang berdurasi 150 menit ini mendapatkan pendapatan besar dengan hasil perjualan box office mencapai 57,284,237 juta Dollar, serta menyabet Gambar 6 Poster film The Physician (Sumber: imdb.com) 39 penghargaan Bogey Award dari jumlah penonton yang mampu menarik 1 juta pengunjung dalam waktu 10 hari. Film ini juga mendapatkan 5 nominasi emas dalam German Film Award 2014 sebagai sinematografi terbaik, desain produksi terbaik, desain kostum terbaik, tata rias terbaik, dan tata suara terbaik. 

Produksi film The Physician berlangsung selama empat bulan antara Juni 2012 hingga September 2012 dan menghabiskan biaya hingga 36 juta Dollar. Lokasi produksi dilakukan di Maroko dan Jerman serta menggunakan studio MMC Studios, Cologne di North Rhine-Westphalia yang berbasis di Jerman untuk memberi sentuhan kemegahan kota Isfahan dan landscape Timur Tengah dengan setting abad ke-11. Bercerita ketika Eropa masih mengalami zaman kegelapan (dark ages), belum ada ahli medis, sementara para pengobat abad ke-11 pada saat itu disebut sebagai tukang cukur (barber), mereka mempromosikan diri mereka dapat menangani kelainan yang ada dipermukaan seperti mengobati kutil, mencabut gigi, reposisi tulang, amputasi, bekam dengan lintah dan menjadikan kencing Kuda sebagai tonik. 

Disamping itu hiduplah Robert Cole (Tom Payne) yang sudah lama akrab dengan kemiskinan karena ditinggal mati oleh ayahnya, sementara ibunya mengidap penyakit serius pada perut (Thypus) dan kemudian meninggal dunia pada saat ia masih kecil karena tidak memperoleh pertolongan yang layak. Menyaksikan itu, Robert Cole memutuskan untuk mencari penyebab & cara menyembuhkan penyakit tersebut serta bertekad untuk mencegah kematian. Ia kemudian memohon kepada seorang tukang cukur (Stellan Skarsgård) untuk ikut berkeliling bersama 40 pedatinya berkelana dari kota ke kota membantunya menjajakan obat. Rob pun diasuh olehnya dan menjadi asisten dalam melakukan segala tindakan pengobatan didalam kamar pedati. Namun pekerjaan sebagai barber tersebut ditentang oleh Gereja karena dituduh menggunakan ilmu hitam. Ajaran Gereja menilai bahwa hanya dengan kuasa Tuhan penyakit dapat disembuhkan, walaupun pihak Gereja tidak mampu memberikan solusi dan pengobatan. 

Ketika Rob tumbuh dewasa, penglihatan ayah angkatnya mengalami gangguan. Ia kemudian mengantarkan sang barber tersebut untuk melakukan operasi katarak kepada para tabib Yahudi. Robert pun merasa takjub melihat kecanggihan alat operasi yang digunakan dan mencari informasi berasal dari mana pengetahuan ilmu medis itu. Sejak dini Robert memang menunjukkan minatnya yang tinggi terhadap dunia pengobatan. Tabib Yahudi itu kemudian menyarankan ia untuk pergi ke suatu daerah yang amat jauh dari London, yaitu Isfahan. 

Dalam film ini kita bisa melihat bagaimana peradaban Timur Tengah tergambar dalam dialog berikut :
 
Tabib : “tabib terbaik sedunia mengajarkanku disana, Ibnu Sina, tak seorang pun di dunia yang sebanding dengan kebijaksanaannya, ia dapat menyembuhkan segala macam penyakit”. 
Rob : “Berapa lama untuk sampai kesana?”. 
Tabib : “Lebih dari setahun. Kau harus pergi ke pantai Selatan Inggris, menyebrangi selat melalui Prancis dan naik kapal berlayar mengelilingi pantai Barat Afrika, kemudian sampai ke Mesir. Disana.. kau akan dibunuh”. 
Rob : “Kenapa?”. 
Tabib : “Permulaan dunia Muslim. Arabia dan Persia. Orang Kristen dilarang untuk pergi kesana. Mereka hanya mentolerir orang Yahudi. Maaf, kau percaya pada Tuhan yang salah”.

Menyadari dokter terbaik bernama Ibnu Sina berada dibelahan dunia lain dan penuh risiko, ia tetap bertekad pergi kesana dan menganggap inilah satusatunya cara untuk mempelajari ilmu medis. Sesampainya di Mesir Robert Cole melakukan sunat secara mandiri agar bisa bergabung dan diterima komunitas Yahudi, kemudian menukar namanya menjadi Jesse bin Benjamin. 

Dalam perjalanan menuju Isfahan bersama dengan rombongan iringan unta, Robert Cole bertemu dengan Rebecca (Emma Rigby), seorang wanita Yahudi yang menarik hatinya. Namun mereka menghadapi badai gurun yang dahsyat hingga mereka terpisah dan sebagian besar diantaranya mati terkubur pasir. 

Saat Rob tiba di Ishafan, Persia. Ia terkesima melihat penataan kota yang amat maju, menara-menaranya menjulang tinggi, Arsitektur yang begitu megah dengan dinding-dinding gedung berhiaskan kaligrafi yang indah. Ishafan digambarkan bermandikan cahaya, bertabur kembang api dan aktivitas kota yang disesaki oleh perdagangan dan perniagaan. Saat itu pula Ia bertemu iring-iringan khalifah Shah (Olivier Martinez) melintas bersama tentaranya. khalifah digambarkan sosok yang gagah, pemberani, petarung buas di medan perang, otoriter terhadap kedudukannya namun amat menghargai toleransi kebebasan beragama dan menjunjung ilmu pengetahuan. 

Dengan penampilan lusuh dan tidak membawa barang berharga, Rob Cole sempat ditolak secara kasar oleh pihak Madrasah, Davout Hosein (Fahri Ogun) untuk berguru kepada Ibnu Sina hingga ia tersungkur dan tidak sadarkan diri ditengah kerumunan warga Isfahan. Penolakan tersebut cenderung rasis karena ungkapan kasar yang diberikan ketua Madrasah kepada Robert Cole mengatakan bahwa ia tidak mau menerima seorang Yahudi yang bau, miskin dan penipu. Hal tersebut seolah menampilkan bahwa ketika Muslim berkuasa memiliki sikap yang bengis. 

Dengan nasib baik yang dimilikinya, Robert Cole ditolong oleh Ibnu Sina dan diobati luka–lukanya. Ia kemudian diterima untuk belajar di madrasah tanpa syarat dan memiliki dua orang sahabat, seorang Yahudi bernama Mirdin (Michael Marcus), dan seorang Muslim pemalas bernama Karim (Elyas M‘barek). Ada satu adegan dimana saya sempat berpikir agak keras dengan segala keterbatasan otak. yaitu adegan dimana Rob menanyakan apa yang digunakan oleh Ibnu Sina untuk mengobatinya.
“Dengan salep getah Poppy [opium/papaver somniferum],” kata Ibnu Sina. 

But wait...... jaman itu disana sudah ada opium ???  emmm.........


Dengan kepolosan dan rasa keingintahuannya yang sangat tinggi itulah Robert Cole kemudian berkembang menjadi murid teladan Ibnu Sina yang cepat tanggap bersemangat dalam belajar dibanding murid yang lain. Selain ilmu pengobatan, ia juga mempelajari Filsafat dan Astronomi. Kepribadian Ibnu Sina yang bijak dan selalu berpikiran optimis diceritakan dengan bagaimana ia berpesan kepada para mahasiswanya untuk selalu memperlakukan pasien dengan baik. 
Sebagai informasi saja, di Madrasah milik Ibnu Sina terdapat perpustakaan yang menghimpun warisan kekayaan ilmu kedokteran dari Yunani kuno. Fakultas kedokteran tersebut diisi oleh beragam pelajar dari mancanegara, ras maupun agama. Ruang pembelajaran juga terintegrasi dengan ruang perawatan pasien sebagaimana model rumah sakit modern. Fasilitas lainnya yaitu terdapat gudang penyimpanan obat dan alat medis, hingga pendingin untuk membuat es. Film ini menggambarkan secara jujur bahwa bahasa pengantar ilmiah di dunia pengetahuan pada saat itu menggunakan bahasa Arab. Terlihat dari kitab–kitab dan gulungan yang dipelajari oleh murid–murid Ibnu Sina menggunakan bahasa Arab sebagai lingua franca.

Banyak pelajaran moral yang dipelajari Rob dari Ibnu Sina, Ibnu Sina tak hanya mengajarkan soal teknis pengobatan dan kedokteran. Lebih dari itu, ia juga membekali murid-muridnya tentang etika penyembuhan. Kata Ibnu Sina, “untuk mengobati suatu penyakit, perlakukan dengan baik orang yang menderita.” Oleh sebab itulah pada saat setiap akan memulai pengobatan terhadap pasien-pasiennya, Ibnu Sina selalu mengatakan, 

“namaku Ibnu Sina… Dengan izinmu, aku akan merawatmu.”

Kisah film ini juga dibumbui perseteruan antara suku bani Seljuk yang hidup nomaden dan liar dipadang gurun. Mereka bersekutu dengan para Mullah atau sekelompok Islam fanatik “yang kaku” dalam memahami agama untuk melawan Kekhilafahan Shah yang dianggap terlalu liberal. Pemimpin Bani Seljuk tersebut mengirim “bom biologis” berupa penderita penyakit pes (pada waktu itu diceritakan disebut sebagai black death)  ke kota Isfahan sebagai balasan atas kematian puteranya yang dipenggal oleh Shah. Wabah tersebut menyebabkan kegemparan dan kematian bagi kota Ishafan. Ibnu Sina meminta evakuasi seluruh penduduk, namun Shah menolaknya. 

Ibnu Sina memutuskan bersama mahasiswanya bereksperimen mencari pengobatan terhadap wabah yang terjadi meski resiko yang dihadapi mereka adalah kematian. Mereka disibukkan merawat banyaknya pasien yang tak kunjung henti. Seluruh bagian kota dipenuhi penyakit dan banyak warga mengisolir diri dengan menembok pintu rumahnya atau pergi meninggalkan kota Ishafan.  

Kalau dipikir lagi, ini mirip dengan kita yang sedang berjuang melawan Covid19 lho....... #dirumahsaja hehehe................

Adegan akhir melawan wabah tersebut, kerja kerasnya menemukan jawaban bahwa penularan wabah dapat diputus dengan membasmi vektor penyakit yakni tikus. 

Selain bumbu politik, film ini juga diselingi tarikan antara dogma agama dan ilmu pengetahuan. Ini tersaji misalnya dalam kasus otopsi mayat. Diantara pasien Ibnu Sina ada seorang penganut Zoroaster bernama Qasim yang kebetulan dirawat Rob. 
Sekedar informasi, Filosofi agama Zoroaster berbeda dengan agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) tentang kebangkitan. Qasim berwasiat pada Rob apabila ia mati, ia meminta tubuhnya diletakkan di atas menara agar bisa dimakan burung pemakan bangkai. Dengan demikian jiwanya terbebas. 

“Ketika aku pergi, bawa tubuhku ke meneara dan biarkan dimakan burung… Penganut Zoroaster meninggalkan tubuh mereka ke burung bangkai. Mereka membersihkan jiwa kita dari materi tetap,”
 
Kesempatan emas itu tak disia-siakan Robert Cole, segera ia membawa jenazah Qasim dan membelahnya secara diam–diam di gudang penyimpanan obat untuk mempelajari organ dalam yang ada di dada dan rongga perut. Rob melukis organ-organ itu sebagaimana gambar ilustrasi anatomi manusia sekarang ini.  

Rupanya, apa yang dilakukan oleh Jesse diketahui Davout yang sedari awal memang tidak suka terhadap Jesse termasuk Ibnu Sina. Keduanya ditangkap dengan tuduhan melakukan pencurian mayat sebagai obyek penelitian, Ibnu Sina juga terseret ke dalam penjara dan keduanya dijatuhi hukuman mati. Dikisahkan pada era tersebut bahwa perilaku membedah tubuh manusia adalah pelanggaran tingkat tinggi dalam agama. Dalam masa penahanan, Ibnu Sina dan Robert Cole berdiskusi tentang apa yang sebenarnya ada didalam rongga tubuh manusia. Robert Cole kemudian menceritakan dan bahkan mengajarkan Ibnu Sina tentang pencernaan dan sirkulasi darah. 

Disaat yang sama Shah mengalami sakit perut kronis ketika dinasti Kekhilafahan yang ia pimpin dikepung dalam perang oleh para Mullah didalam kotanya dan Bani Seljuk dari luar. Untuk mengembalikan kondisinya, ia menggagalkan eksekusi mati yang dibuat para Mullah kepada Robert Cole beserta Ibnu Sina dan membawanya ke istana untuk melakukan operasi pengangkatan usus buntu dari dalam perutnya. Robert Cole dibantu Ibnu Sina beserta Mirdin berhasil melakukan operasi pertama kali dalam sejarah. 

Film kemudian ditutup dengan kekalahan Khalifah Shah melawan para Mullah yang bersekutu dengan Bani Seljuk, seluruh rakyat Isfahan mengungsi dan seluruh isi perpustakaan milik Ibnu Sina hancur terbakar karena perang. Pada akhir adegan Ibnu Sina mengalami putus asa melihat kehancuran tersebut dan mengakhiri hidupnya dengan minum racun. Sebelum kematiannya ia mewariskan kitab terpenting dalam ilmu medis (mungkin kitab itulah cikal bakal Buku The Cannon Of Medicine  yang kemudian menjadi buku kedokteran pertama dunia) kepada murid kesayangannya Robert Cole untuk dipelajari, koreksi kesalahannya, dan sebarluaskan pengetahuan tersebut ke dunia ketika ia bawa pulang ke London.

The End

---------------------------------------------------------------------



Sedikit membahas film yang sebenernya sangat menarik ini, ada dua sikap yang bisa diambil. 
Pertama, apologetik. Kedua, kritis

Apologetik disini  dalam artian mencoba untuk bertahan bahwa perlu koreksi total karena tidak sesuai dengan “sejarah resmi,” sementara yang kritis dimaksudkan mengambil moral cerita yang dihadirkan sembari mencari rujukan lain sebagai opini alternatif.

oke mari kita bahas ............


Ibnu Sina atau Abu ‘Ali al-Husain ibn ‘Abd-Allah ibn Hasan ibn ‘Ali ibn Sina, lahir pada 23 Agustus 980 atau Safar, 370 H di sebuah wilayah dekat Bukhara yang disebut Kharmaithan atau Afshana. Kini, wilayah tersebut masuk dalam administrasi Negara Uzbekistan. Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Kedokteran di Iran. Ayah Ibnu Sina, seorang pimpinan lokal di Afshana tidak terlampau jelas asalnya Arab, Turki atau Persia. Ibunya, Setareh, adalah orang Persia.

Pembentukan keilmuan Ibnu Sina dimulai ketika keluarganya pindah ke Bukhara. Ia belajar tak hanya tentang agama, tapi juga filsafat, aritmetika dan geometri. Ali Abdullah Nateli, seorang yang sangat memahami filsafat, suatu hari datang ke Bukhara. Ayah Ibnu Sina mengajaknya ke rumah mereka dan meminta Nateli mengajari Ibnu Sina.

Bersama Natelli, Ibnu Sina belajar logika dasar untuk membaca Eisagoge karyanya Porphyry, Euclid, dan Almagest-nya Ptolemeus. Selain itu, karya Plato dan Aristoteles juga ia lahap. Pikiran-pikiran Peripatetik dan Stoik dalam tulisan Ibnu Sina banyak berasal dari sumber ini. Dari sini, Ibnu Sina mulai merambah ilmu kedokteran. Kehidupan Ibnu Sina di Bukhara berlangsung hingga 999. Ia kemudian meninggalkan Bukhara menuju Gorganj dan tinggal disana hingga 1012. Dari Gorganj ia pindah ke Jorjan (1013), Ray (1015), Hamadan (1024) dan Isfahan (1037). Di Isfahan inilah Ibnu Sina bekerja dan kerap mendapat pujian dari Ad-Daula. Dalam perjalanan ke Hamadan, Ibnu Sina meninggal dan dimakamkan disana pada Juni atau Juli tahun 1037 dalam usia 58 tahun.

Biografi ini sekaligus membedakannya dengan cerita dalam The Physician. Di film itu, Ibnu Sina digambarkan meninggal di madrasahnya dengan cara meminum racun setelah kekuasaan Seljuk menguasai Persia. Cerita tentang posisi Ibnu Sina dalam pemerintahan Ad-Daulah dari Dinasti Ali Buyeh juga agak sedikit berbeda dengan yang tersaji di buku sejarah. Dalam film digambarkan Ibnu Sina dan istana itu agak sedikit berjarak, tapi dalam buku sejarah, Ibnu Sina adalah bagian integral dari istana.

Nah lho..........

Oke lanjut ...........

Saya mencoba untuk tidak bersikap apologetik dan mencari “kuasa pengetahuan” dalam film ini. Meski harus diakui, media film banyak digunakan untuk menunjukan superioritas sebuah kelompok atas golongan lainnya. 

Terlepas dari akurasi penggambaran cerita yang tak sebangun dengan narasi sejarahnya, ada beberapa hal ingin saya amini dari The Physician. 

Pertama, film ini dengan cukup terbuka menunjukkan bahwa peradaban Islam mengalami zaman keemasannya serta seorang Ibnu Sina yang berkontribusi besar dalam dunia kedokteran dunia. Disamping itu film ini tidak terjebak dalam bias barat yang selalu menganggap bahwa dunia timur sebagai bangsa yang tenggelam dalam kegelapan, kebodohan, keterbelakangan dan secara jujur justru menceritakan bahwa dunia baratlah yang pada saat itu sedang mengalami masa suram.

“The Arabs contributed a high sense of mission; the Persians their culture and sense of history; the Christian Syriacs their linguistic versatility; the Harranians their Hellenistic heritage and the Indians their ancient lore.”

Kedua, kejayaan peradaban Islam tak lepas dari keterbukaan dalam menerima produk kebudayaan lain. Bacaan Ibnu Sina yang kuat terhadap karya pemikir Yunani, menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya era emas peradaban Islam. Itu diperkuat dengan harmoni yang muncul diantara pemeluk agama yang berbeda. Pemikiran berkembang pesat. Karena pikiran cemerlang itulah peradaban menjadi maju. Iran, meminjam istilahnya Axworthy (2008), menjadi “empire of the mind.

Ketiga, perselingkuhan antara agama dan politik kerap menjatuhkan wibawa kelompok agama itu sendiri. Di bagian akhir, ada adegan dimana pemimpin Mullah bersimpuh di hadapan tentara Seljuk sebagai bukti penerimaan mereka terhadap pemimpin baru. Itu sekaligus menggambarkan betapa klaim keagamaan yang digunakan untuk maksud politik malah menggiring munculnya despotisme baru. Dan jujur saja, bukankah itu juga sedang terjadi sekarang ini ?

Ah entahlah.....
yang jelas, secara sinematografi film ini menarik namun dengan isi cerita di dalamnya yang perlu dicerna berkali kali lagi.  


*dari berbagai sumber

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow