Posted by : ngatmow 1.04.2017

Dieng..... siapa sih yang sekarang ga kenal sama tempat eksotis yang satu ini. Dari mulai sunrise di Sikunir yang konon salah satu yang terbaik di Asia, Dieng Culture Festival alias DCF yang jadi agenda tahunan para traveler se Indonesia untuk berdingin dingin ria hanya demi menonton Bocah bajang yang dipotong rambut gembelnya dengan ritual adat, kawah kawah yang langsung bisa digunakan untuk merebus telur, telaga warna yang ternyata warnanya hanya hijau dan putih (padahal konon dulunya merah, putih, ijo, biru, ungu, de el el), juga padang savana di puncak Pangonan yang syahdu sesyahdu syahrini .....

Komplek Candi Arjuna dan Desa Dieng Wetan
Yes, hampir semua orang akan menyebutkan semua itu dan akan bercerita bahwa banyak pengalaman baru yang dialaminya ketika mengunjungi Dieng, terutama soal suhunya yang luar biasa dingin. Namun dari sekian banyak manusia yang menceritakan tentang keindahannya, pasti ada satu atau dua orang yang akan secara kritis mengomentari soal minusnya Dieng sekarang ini.

What ? minus ?

Yes. Dieng sekarang sudah berubah sodara sodara. Bahkan menurut saya lebih banyak minusnya dibandingkan perubahan positifnya. Suwer....
Beberapa hari yang lalu, saya ceritanya piknik ke sana, pakai helm, jaket tebal. sarung tangan, tutup muka, trus naek bis ke Dieng hehehe.... Dengan rute Banjarnegara-Karangkobar-Batur-Dieng jarak yang ditempuh kurang lebih 150 menit alias 2 setengah jam mendaki gunung melewati lembah dengan pemandangan yang sangat indah. Bahkan lebih indah dari rute ke Dieng dari kota sebelah.

Apa yang saya peroleh dari perjalanan kali ini adalah sebuah keprihatinan yang luar biasa. Sebagai seorang pengelana (halah) dan pengabadi segala sesuatu melalui gambar, ada banyak hal yang kemudian menjadi pertanyaan dalam pikiran dan otak ini. salah satunya adalah mengapa Dieng menjadi seperti ini ?

Okeh, saya jelaskan dari awal kenapa saya kemudian hanya mengumpat dalam hati soal ini....

Pertama,
Jalan menuju Dieng dengan rute Banjarnegara-Karangkobar-Batur-Dieng adalah jalan dengan track yang lumayan lebih "ringan" dibanding rute kota sebelah. Tanjakannya tidak begitu menyiksa mesin kendaraan, rute yang hampir sama (hanya saja lebih banyak kebon dan track jalan desanya), serta pemandangan yang menurut saya lebih asri dibanding sebelah (bedanya disebelah memandang gunung Sindoro langsung dari sampingnya, sementara di sini Gunung Slamet - itupun dari kejauhan).

Sayangnya, rute ini seolah nggak pernah diurus, seolah nggak pernah dilewati oleh pejabat daerah, dan bahkan rute ini punya banyak titik rawan longsor. Lah.....
terbukti diantara Batur - Dieng saja ada sekitar 5 titik dimana tanah longsor dengan skala kecil yang menutupi sebagian jalan sehingga lumpur ada dimana mana.
Selanjutnya di Diengnya sendiri ruas jalan dari terminal shuttel menuju ke Musium Kailasa (yang notabenenya dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara) sebagian tertutup oleh tanah, sehingga selain menyulitkan pengendara sepeda motor (terbukti dengan seringnya pengunjung yang terjatuh di "kubangan" itu) juga menyebabkan kondisi kendaraan sangat kotor sekali.

Lokasi Longsor di Paweden Kecamatan Banjarmangu

Akses masuk Komplek Dieng via Banjarnegara (Pintu barat)
Pertanyaanya ? siapa yang kemudian harus dituntut untuk bertanggungjawab ?
Seperti kemarin, ada seorang ibu yang saya tolong karena sepeda motornya terjatuh di lokasi itu menanyakan kepada saya dengan logat Pekalongannya yang kental.
" mas, kene iki nggone mbanjar po ? jane niat ngrumat Dieng ora si ? nek ra niat mbok ben merdeka dewe ...... "
( mas disini ini punya banjarnegara ya ? Niat merawat Dieng nggak sih ? kalo nggak niat biarkan merdeka sendiri saja lah )

Jlebh..................

Kedua, 
Selain permasalahan akses jalan yang dimana mana penuh lumpur dan berlubang, satu hal yang perlu diperhatikan sekali oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara adalah kurangnya ruas jalan yang hanya itu itu saja. Hal ini menjadi satu kendala serius manakala Dieng sedang ada "hajatan" seperti DCF ataupun tahun baru dan lebaran tiba. Macet total, layaknya kota besar.
bahkan untuk bisa keluar dari sana butuh waktu berjam jam dibandingkan dengan hari biasa yang hanya butuh waktu nggak sampai 15 menit.

What the f#ck that ......

Mungkin yang perlu dilakukan adalah dengan menambah jumlah ruas jalan sebegai pemecah arus, menambah lapangan parkir dan juga menerapkan jalan satu arah di daerah Musium Kailasa sampai dengan pertigaan Kawah Sikidang. hal ini mungkin akan mempengaruhi jarak tempuh warga Dieng Kulon yang notabenenya ada di jalur tersebut. Namun dengan pendekatan dan sosialisasi yang baik, tentunya mereka akan memahami juga. apalagi jika ada ruas jalan baru yang menuju ke dese mereka. Iya kan ??

Ketiga,
Dieng sekarang penuh dengan sampah men ...... dimana mana ada tumpukan sampah yang belum atau mungkin lupa untuk disingkirkan. Sampah yang menggunung itu menurut seorang tukang parkir yang saya temui memang dibiarkan untuk kemudian dibakar kalau malam tiba. Selain sebagai penghangat badan juga biar bersih.



Pertanyaanya,
Apa nggak risih lihat tumpukan sampah itu di siang hari bro bukannya baunya juga sangat tidak sedap ? pengunjung juga datang ke Dieng dan menikmati piknikannya pada siang hari kan bukan malamnya ? lha uteknya masnya njur dimana ?

Dan jawabannya adalah ................. " lah gimana lagi mas, sudah biasa ........ "

Kan A*u sekali kakak .......


Keempat,
Lokasi kawah Sikidang sekarang bagaikan pasar malam yang kumuh. kok bisa ??
Bagaimana tidak, semenjak pintu masuk lokasi sampai dengan ujung kawah bahkan sampai puncak bukit di atas kawah .... ADA PEDAGANGNYA !!

Damn !!!

Selain itu hampir di setiap ruang kosong bermunculan pojok pojok foto bertuliskan DIENG, EDELWEIS, LOVE, dan muncul gorila gorila raksasa yang menemani patung Rangda yang dulunya hanya ada di Bali....... kesasar ?? entahlah

Yang jelas, di sekitar lokasi itu bermunculan pula papan papan kayu bertuliskan
" Foto sendiri Rp sekian, kamera segini Rp sekian, foto borongan Rp sekian dan seterusnya"
bayangkan saja dari kurang lebih 200 meter jarak yang harus ditempuh antara pintu masuk sampai ujung kawah, terdapat sekitar 17 tulisan dieng dengan berbagai bentuk dan ukuran (sebagian besar berukuran jumbo), ada 2 patung gorila besar, 1 patung panda besar bermata merah, 1 patung rangda, serta puluhan pojok selfi berbentuk hati dan sebagainya, termasuk Jeep mogok di tengah tanah lapang yang tentu aja ga nyambung banget sama Kawah Sikidang.
Fak banget kan?

Kotor, risih, dan membosankan. itu !!!





Dari hasil ngobrol dengan beberapa orang penduduk sekitar yang kebetulan ada di tempat itu, sebenarnya mereka juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan. Muak.
Namun demi sesuap nasi apalah daya. Mereka juga berharap seandainya pemerintah benar benar mau ikut campur tangan dengan merelokasi, menata kemudian memberikan pengarahan serta membuatkan jalur khusus pedagang, mereka akan dengan senang hati menerimanya.
Serius lho .....

Selain itu, mereka juga merasa kasihan dengan lingkungan yang semula bersih, indah dan alami, sekarang berubah menjadi tempat favorit jamaah selfiyah melakukan kegiatannya hampir di setiap sudut lokasi.

Kelima,
Masih di lokasi sekitar kawah sikidang, sekarang banyak ditemukan burung hantu yang dipajang dan digunakan sebagai properti foto selfi. Lha ini uteknya dimana ??
Setahu saya, burung hantu kan aktifitasnya di malam hari dan mereka akan lebih bahagia bila tidak ada rantai atau tali yang melilit salah satu kakinya. Lha ini yang terjadi semuanya dibalik. Mereka dipaksa untuk tetap terjaga di siang hari bolong tentu saja dengan satu kaki terikat di ranting/pohon tempat pojok selfi itu.


apa nggak kasihan ?
perikehewanannya dimana lik ?

Disaat burung lain macam murray, lovebird, bahkan pleci dan emprit sedang dielus elus, bahkan dimandikan dan disuapi, burung hantu di sana malah sedang di peras keringatnya hanya demi sesuap nasi (katanya) si pemilik.........

Dimana kalian para pecinta binatang ? greenpeace ? Persatuan Pecinta Burung ?
kok diam saja ?
hemmm...............

Sebenernya masih banyak hal yang pingin saya tulis disini sebagai bentuk rasa keprihatinan terhadap Dieng. namun tida bijak rasanya memaksa jari jemari untuk menulis lagi dengan rasa kantuk yang luar biasa di pelupuk mata.

Yang jelas, masih banyak PR bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara sebagai pengelola Dieng yang sejatinya masih sangat mungkin untuk dieksplore lebih luas lagi.

  • Mulai dari pintu gerbang selamat datang yang seharusnya terlihat gahar dan terawat rapi, setidaknya plis jangan hanya memikirkan pendapatannya saja. Tapi juga aspek kecil semacam ini perlu diperhatikan juga lho. Masa tulsan selamat datang Dieng kita kalah besar dari tulisan Dieng kota tetangga yang notabenenya hanya punya sepersekian persen dari Dieng itu sendiri, atau bahkan minimal jangan sampai tulisannya kalah besar dan mencolok bila dibandingkan tulisan promo warung dan homestay yang semakin menjamur di sekitarnya
  • Jangan hanya karena sudah menyediakan fasilitas kamar mandi air hangat di sekitar Kawah Sikidang trus jadi nggak memikirkan relokasi pedagang yang ada di sekitarnya.
  • Jangan hanya memikirkan keuntungan yang diperoleh dari komplek Candi dan Kawah Sikidang saja, tanpa memikirkan bagaimana caranya menghubungkan Komplek Pemandian air panas D'Qiano yang letaknya sangat jauh dari pusat candi agar mudah dijangkau dan menjadi destinasi utama juga bagi pengunjung Dieng.
  • Jangan lupakan juga telaga Dringo, duplikat Ranukumbolo, yang juga ada di Dieng, namun diakui sebagai destinasi wisata kota tetangga (apa tidak sakit tuh ?). Dan coba sekali sekali ajak pejabat yang berwenang untuk merasakan bagaimana sulitnya menuju telaga nan indah itu.
  • Lihatlah sekitar komplek wisata, apakah sudah layak disebut sebagai lokasi tujuan wisata favorit ? bandingkan dengan Destinasi wisata di kota lain yang mirip. Colek saja deh kota kota sebelah yang punya destinasi wisata serupa. Pengelolaannya ?  Jauh.......................
  • Atau mungkin pemerintah perlu mulai membuka diri untuk mau bekerjasama dengan pihak swasta demi pengelolaan destinasi wisata Banjarnegara agar menjadi lebih baik dan profesional, tidak sekedarnya, apa adanya dan sekenanya seperti sekarang ini . Sehingga secara tidak langsung pendapatan daerah akan meningkat dan kesejahteraan juga akan ikut meningkat pula.
Saya bukan seorang profesional di bidang ini, namun sebagai seorang pecinta lingkungan dan pengabadi segala sesuatu melalui gambar, rasanya tidak terima hati ini kalau lokasi "nglayap" favorit saya berubah menjadi semakin mengenaskan.

Ah sudahlah, sekarang mari kita kembali menikmati indahnya Dieng dari sudut mata seorang pencari gambar amatir macam saya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan renungan. Salam

Dini hari dalam balutan bun upas


Komplek Candi Arjuna ketika bun upas tiba

Komplek Kawah Sikidang (tahun 2013)



Puncak pangonan (foto by Arif Moko)

D'Qiano waterboom










Comments
2 Comments

{ 2 komentar... read them below or Comment }

Instagram

Arsip

Copyright 2008 ZISBOX- Metrominimalist | Template Diutak atik Ngatmow Prawierow